Jumat, 29 Juli 2016

Markus 7: 1-23 “Firman Tuhan Menyaring Tradisi”


Ada sebuah tradisi di sebuah desa di Spanyol, Castrillo de Murcia, yaitu festival tahunan untuk membabtis anak-anak bayi di sana dengan berpakaian layaknya hantu. Dengan kostum tersebut, mereka kemudian melompat melangkahi bayi-bayi itu. Festival ini disebut El Colacho, dilakukan 60 hari setelah paskah. Mereka kemudian menempatkan bayi-bayi itu di atas bantal dan disusun berbaris di jalan raya. Lalu, orangtua akan menyaksikan anak-anaknya dikelilingi dan dilangkahi oleh orang-orang berkostum hantu seolah menakut-nakuti dan meneror orang-orang yang hadir saat itu. (Intisari-Online.com) Praktek tradisi yang aneh dan menakutkan, yang dicampur adukan dengan kekristenan.

Tradisi merupakan bagian dari kehidupan orang yang melakukannya karena telah ada sejak lama dan bahkan dilahirkan dalam tradisi atau adat tersebut. Sejak dalam kandungan, lahir sampai meninggal berbagai kegiatan tradisi diilaksanakan.
Di satu sisi banyak bagian dari tradisi yang baik dan perlu dikembangkan, tapi di sisi lain tidak semua bagian dari tradisi dapat diterima oleh kita sebagai orang percaya, jika bertentangan dengan Firman Tuhan.

Tuhan Yesus tidak melarang orang percaya mengikuti tradisi. Yesus menghargai tradisi, bahkan Yesus turut ambil bagian dari tradisi Yahudi, misalnya Dia disunat. Akan tetapi Yesus tidak setuju jika tradisi tersebut menjadi yang utama dibandingkan dengan firman Tuhan.
Itulah yang Yesus lakukan dengan mengecam orang-orang Yahudi sangat mengutamakan tradisi adat istiadat melebihi ketaatan terhadap perintah Tuhan. Mereka menganggap murid-murid Yesus najis dan berdosa karena tidak mencuci tangan sebelum makan. Padahal orang-orang Yahudi tersebut rela mengabaikan perintah Tuhan dengan mengabaikan pemeliharaan terhadap orangtua. Mereka menganggap kalau persembahkan kurban sudah diberikan kepada Allah, mereka tidak perlu lagi mengurus atau memerhatikan orangtuanya. Mereka lebih mengutamakan melakukan seremonial dari pada kemurnian moral.

Tradisi atau adat istiadat tidak salah seluruhnya. Tetapi kebenaran Tuhan jauh melampaui tradisi dan adat istiadat manusia. Tradisi seharusnya disaring oleh Firman Tuhan, sehingga kita menerima tradisi selama tidak membawa kita menyimpang dari kehendak Tuhan, namun sebaliknya menolak tradisi yang membawa kita menjauh dari kehendak Tuhan. (Robert N. Kindangen)

Jumat, 15 Juli 2016

Lukas 14:12-14 “Turut Mengundang”

Pada suatu ketika saya menerima undangan pernikahan dari orang yang tidak saya kenal. Jika undangan biasanya turut mengundang adalah keluarga dekat, maka dalam undangan tersebut yang tercantum sebagai turut mengundang adalah para petinggi, baik petinggi pemerintahan desa dan kecamatan, yaitu kepala desa dan camat, maupun petinggi perusahaan, yaitu manager dan kepala-kepala bagian di suatu perusahaan besar. Salah satu yang tercantum di turut mengundang adalah kepala bagian saya saat itu. Alasan mencantumkan para petinggi di undangan pernikahan supaya bawahan-bawahan dari para petinggi yang tercantum di turut mengundang semuanya hadir karena menghargai pimpinannya. Pihak yang mengundang berharap semakin banyak tamu yang hadir, semakin banyak pula uang yang diterima, sehingga pesta tersebut memberi keuntungan.
Mengundang orang-orang yang kita kenal, yaitu sahabat, keluarga, tetangga, orang-orang terpandang dengan harapan mendapat keuntungan baik berupa keuntungan adalah hal yang sering dilakukan orang yang akan mengadakan pesta.

Namun Yesus bersikap sebaliknya, Yesus mengatakan saat kita menyelenggarakan perjamuan, yang perlu kita undang bukanlah orang kaya dan terkenal atau kerabat kita sendiri (ay. 12) yang akan menyenangkan atau memberi keuntungan, tetapi undanglah orang-orang yang tidak bisa membalas pemberian kita, mereka yang layak menerima belas kasih kita (ay. 13-14). Tuhan yang akan memberi berkat (ay.4)
Melalui peristiwa ini, Yesus mengingatkan kecenderungan orang untuk menjalin hubungan dengan sesama bukan atas dasar kemanusiaan, tetapi atas dasar keuntungan yang diperoleh. Hubungan seperti ini tidak mendatangkan berkat.  Yesus menginginkan hubungan antar sesama dilandasi oleh kasih. Kasih terlihat dari kepedulian terhadap sesama, kasih tidak mencari keuntungan dari sesama.
Melalui peristiwa ini, Yesus juga mengajarkan kerendahan hati, karena banyak orang mengadakan perjamuan hanya karena kesombongan, ingin pamer. Mereka menganggap akan semakin dihormati dan dianggap hebat jika undangan mereka adalah orang-orang kaya, terkenal, mempunyai kedudukan. Semua itu hanya memuaska ‘ego’ diri sendiri.

Sebagai orang percaya kita diingatkan, yang menjadi pengikat dalam hubungan kita dengan sesama adalah kasih. Kasih terwujud dalam ketulusan, dan kepedulian, yang membawa kebaikan bagi sesama dan bagi kita. (Robert N. Kindangen)

Sabtu, 09 Juli 2016

Matius 12:33-37 “Hate Speech”

Surat edaran Nomor SE/06/X/2015 tertanggal 8 Oktober 2015 yang mengatur tentang ‘hate speech’, atau ujaran kebencian, sudah diedarkan oleh Kepala Polisi RI. Ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.
Sekalipun mempunyai sangsi hukum, ujaran kebencian tidak mudah untuk dihentikan. Surat edaran ini hanya bisa menangani puncak dari masalah, bukan akar masalahnya, yaitu hati yang penuh kebencian. Jika kebencian dihati bisa dihilangkan, maka hilang pula ujaran kebencian.

Orang Farisi dalam bagian Alkitab ini melakukan ujaran kebencian kepada Yesus. Dengan keras Yesus mengecam mereka bahwa kebencian yang terucap asalnya dalam hati mereka. Hati yang baik akan menghasilkan perkataan yang baik, sebaliknya hati yang tidak baik akan menghasilkan perkataan yang tidak baik.
ilustrasi pohon dan buahnya menggambarkan bagaimana perkataan orang Farisi telah menyatakan siapa diri mereka sesungguhnya, yaitu hatinya dikuasai kejahatan.
Sebaliknya bila Tuhan yang berkuasa di dalam hati seseorang, maka perkataan yang keluar adalah yang baik.
Tuhan Yesus juga mengingatkan setiap kata-kata yang disampaikan akan dipertanggungjawabkan nanti, perkataan yang baik akan membuat seseorang dibenarkan, sebaliknya perkataan yang tidak baik akan membuat seseorang dihukum.

Kecaman Yesus ini juga menjadi peringatan bagi kita sebagai orang Kristen. Apa yang kita katakan akan menggambarkan siapa kita sebenarnya. Siapakah kita ini? Bukankah kita adalah pengikut Kristus, anak-anak Allah, karena itu perkataan kita harus mencerminkan Kristus. Setiap perkataan kita baik secara lisan termasuk percakapan di media sosial adalah kata-kata yang menguatkan, membawa kebaikan, memberitakan kabar baik, dan yang membuat kita dibenarkan. (Robert N. Kindangen)

Jumat, 01 Juli 2016

2 Tawarikh 25:1-4 “Ketaatan Total”

Suatu ketika terjadi perang antara bangsa burung melawan bangsa binatang buas. Saat burung-burung nyaris kalah, kelelawar menjauh dan bersembunyi hingga pertempuran berakhir. Lalu binatang-binatang buas meninggalkan medan pertempuran, dan kelelawar ikut bergabung bersama mereka!
Para binatang buas itu saling bertanya, "bukankah kelelawar itu termasuk burung yang bertempur melawan kita?"
Kelelawar pun berkata, "Oh, tidak. Aku termasuk bangsa kalian. Aku bukan bangsa burung. Apa kalian pernah melihat burung bergigi ganda? Kalian bisa periksa mulut burung-burung itu, pasti tidak ada yang bergigi ganda, itu artinya aku adalah sebangsa dengan kalian, binatang buas!"
Binatang-binatang akhirnya membiarkan kelelawar ikut kelompok mereka.
Beberapa waktu kemudian, dengan kekuatan lebih besar, bangsa burung menyerbu kelompok binatang buas. Melihat kelompok binatang buas akan kalah, kelelawar ikut bergabung dengan bangsa burung.
Saat para burung melihatnya, mereka menegur kelelawar,"hai, kamu itu musuh kami. Kami melihat engkau bersama binatang buas itu dan ikut melawan kami!"
"Tidak, kalian salah lihat!" kelelawar mengelak. "Aku ini bangsa kalian. Apakah kalian pernah melihat seekor binatang buas memiliki sayap?
Burung-burung akhirnya membiarkan kelelawar ikut kelompok mereka.
Suatu saat, bangsa burung dan binatang buas berdamai. Mereka kemudian membicarakan kelelawar yang selalu berpindah-pindah pihak selama peperangan berlangsung, siasat kelelawar itu menunjukkan bahwa dia itu tidak punya pendirian. Mereka kemudian memutuskan, sejak saat itu baik bangsa burung maupun binatang buas tidak akan berteman dengan kelelawar, dan kelelawar hanya boleh terbang pada malam hari. Kelelawar pun tertunduk lesu meratapi nasibnya.

Amazia, raja Yehuda sepertinya taat terhadap Tuhan, sayangnya ketaatannya tidak penuh (ay. 25).
Pada suatu saat Amazia menaati perintah Tuhan, yaitu ketika ia menghukum mati pegawai-pegawai yang telah membunuh ayahnya. Anak-anak mereka tidak dibunuhnya, karena ia menaati perintah Tuhan "Janganlah ayah mati karena anaknya, janganlah juga anak mati karena ayahnya, melainkan setiap orang harus mati karena dosanya sendiri." (ay.4)
Namun di saat lain, Amazia memberontak kepada Tuhan dengan menyambah dewa-dewa Edom, bangsa yang telah dikalahkannya (ay. 14).
Akibatnya, Tuhan menghukum Amazia. Amazia akhirnya kalah dan mati di tangan Yoas, raja Israel yang juga merampasi kekayaan Yehuda dan bait Allah (ayat 20-24).

Melalui kisah Amazia, kita sebagai orang percaya diingatkan kita harus mempunyai ketaatan total kepada Tuhan. Tidak bisa kita taat sebagian, di saat tertentu kita hidup dalam kebenaran, tapi disaat lain kita hidup dalam dosa. Karena dosa akan merusak seluruh kehidupan kita. (Pdt. Robert N. Kindangen)

Jumat, 24 Juni 2016

Kisah Para Rasul 26:24-32 “Diperlengkapi Untuk Bersaksi”



Seorang anak kecil menceritakan kepada pamannya mengenai mengenai kisah Musa yang membelah laut Teberau sehingga ribuan tentara Mesir yang mengejar orang-orang Israel tenggelam di lautan, mujizat yang dilakukan Tuhan agar bangsa Israel selamat.
Pamannya mengatakan bahwa peristiwa tersebut bukanlah mujizat melainkan peristiwa alam biasa. Karena pada saat itu diperkirakan terjadi gerhana bulan sehingga menimbulkan daya gravitasi yang menarik sebagian air lautan ke tempat yang lebih dalam. Akibatnya ketinggian air laut Taberau saat itu hanya sebatas mata kaki manusia. Musa telah membodohi umat Israel dengan mengatakan bahwa kejadian itu adalah Mujizat dari Tuhan.”
Mendengar penjelasan pamannya, anak kecil ini berteriak dengan suara nyaring. “Haleluya…Puji Tuhan…!”
Pamannya heran dan bertanya, “kenapa kamu bilang Haleluya…Puji Tuhan…!”
Jawab anak itu “kalau  apa yang paman katakan benar justru membuat kisah Mujizat dalam kitab kejadian itu makin luar biasa, karena ribuan pasukan Mesir bisa mati tenggelam hanya di air yang sedalam mata kaki manusia.
Pamannya terdiam.

Kisah Para Rasul 26:24-32, menceritakan Paulus yang saat itu berstatus tahanan, tidak gentar mewartakan Injil kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan dan kedudukan yang tinggi, diantaranya Festus gubernur Yudea, Raja Agripa,  dan Bernike anak perempuan raja Agripa.
Festus yang menjabat sebagai gubernur Yudea yang mengakui bahwa Paulus punya pengetahuan yang banyak. Mendengar penjelasan Paulus, Festus menganggap Paulus gila (Ay. 24). Paulus menjawab bahwa dirinya  tidak gila karena ia mengatakan kebenaran dengan pikiran yang
sehat (Ay. 25). Paulus tidak sedang mengarang cerita, melainkan kebenaran yang diketahui oleh banyak orang termasuk, karena semua itu tidak terjadi di tempat terpencil (ay.26)
Terhadap Raja Agripa, Paulus meyakini raja Agripa percaya apa yang diwartakannya, dengan secara langsung bertanya “percayakah engkau, raja Agripa, kepada para nabi? Aku tahu, bahwa engkau percaya kepada mereka. Jawab Agripa: "Hampir-hampir saja kauyakinkan aku menjadi orang Kristen!" (ay.27-28)
Jawaban raja Agripa ditanggapi Paulus dengan sukacita (28-29). Ia melihat bahwa Injil yang diberitakan sudah mulai diterima. Paulus tidak mau melepaskan begitu saja, melainkan mendoakan kepada Allah, agar yang mendengarkan Injil yang diwartakan oleh Paulus menjadi percaya sama seperti Paulus (ay.29) dan akhirnya menerima keselamatan.

Paulus menunjukkan Tuhan keberanian mewartakan kebenaran Injil terhadap siapapun bahkan terhadap gubernur dan raja sekalipun. Itu semua bukan karena kehebatan dan kepintaran Paulus, melainkan karena Tuhan yang memperlengkapi Paulus.

Demikian juga dengan kita sebagai orang Kristen, jangan pernah merasa rendah diri, jangan takut dan gentar berbicara mengenai kebenaran terhadap siapapun. Berdoa minta hikmat dari Tuhan yang akan memperlengkapi kita untukmenyampaikan kebenaran. (Robert N. Kindangen)

Sabtu, 18 Juni 2016

Roma 8:18-30 “Sudut Pandang Allah”

Setelah kota London terbakar, raja Inggris menugaskan seorang arsitek besar bernama Christofer Ramm membangun kembali gereja St. Paul yang megah. Ukiran yang besar dan bagus dipasang kira-kira 8 meter tingginya dari tanah. Ada seorang yang mengukir salah satu hiasan di situ dan berdiri pada tempat yang tinggi dari gereja itu. Ia sedang memandang hasil ukirannya yang baru saja selesai. Tetapi secara tak sadar, ia memandangi ukiran itu sambil berjalan mundur setapak demi setapak sampai berada di ujung papan pembatas. Jika ia mundur setapak lagi, ia pasti jatuh dan mati. Seorang rekannya melihat bahwa posisi temannya sangat berbahaya. Dia bermaksud menolong, tetapi jika ia berteriak memperingatkan kemungkinan teriakannya akan membuat rekannya malah jatuh. Akhirnya tidak ada cara lain selain ia mengambil kuas seorang yang sedang mengecat dinding dan merusak ukiran tersebut. Pada waktu ukiran itu kena cat, si pengukir amat marah dan langsung menghampiri rekannya yang merusak ukirannya dan bermaksud memukulnya. Tetapi rekannya itu menunjukkan tempat si pengukir itu berdiri. Akhirnya, si pengukir sadar bahwa rekannya telah menyelamatkan nyawanya.

Sikap yang sama seperti sang pengukir, sering kita perlihatkan ketika kita melihat hidup kita mengalami penderitaan dalam bentuk seperti, sakit penyakit, kedukaan, dan rencana-rencana yang gagal. Kita seringkali protes kepada Tuhan bahwa Tuhan membiarkan atau membuat kehidupan kita begitu berat. Padahal yang terjadi sebaliknya. Justru Tuhan sedang menolong kita.
Dari sudut pandang manusia, penderitaan yang dialami adalah tanda ditinggalkan oleh Tuhan, tanda kegagalan, tanda hari depan suram dan tak berpengharapan.
Namun dari sudut pandang Allah, penderitaan dialami oleh orang-orang yang mengasihi Dia, menjadi salah satu cara untuk mendatangkan kebaikan. Penderitaan yang dialami orang percaya dipakai Allah untuk mewujudkan rencana-Nya bagi kita. Penderitaan yang kita alami tidak akan membawa kita pada kebinasaan, tapi akan membawa kita pada damai sejahtera.

Jika saat ini kita sedang mengalami penderitaan, apapun bentuknya. Jangan pernah ragukan Allah, datang padanya dalam doa,  bahkan ketika kita tidak tahu bagaimana seharusnya berdoa, karena Roh Kudus akan menolong kita, berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Memberi kita kekuatan, pengharapan, kebaikan yang Allah rencanakan bagi kita. (Robert N. Kindangen)

Minggu, 12 Juni 2016

Roma 7:1-13 “Taat Aturan”

Ada ungkapan yang menyebutkan  “aturan dibuat untuk dilanggar. Benarkah itu? Tentu saja ini ungkapan yang buruk. Bukankah aturan dibuat untuk ditaati? Namun, lihatlah apa yang terjadi di sekitar kita, banyak aturan yang diabaikan. Ada rambu-rambu lalu-lintas  Dilarang parkir, tetapi banyak  mobil dan sepeda motor yang parkir. Bahkan, tukang parkirnya juga ikut-ikutan tidak peduli pada aturan main pemarkiran. Sering juga kita melihat tulisan di terminal atau di emper pertokoan Buanglah sampah di tempat yang disediakan. Lucunya, banyak sampah bertebaran secara sembarangan. Apakah kita  patuh pada peratauran jika petugas yang mengawasi? Kita seringkali taat pada aturan karena takut akan sangsi, bukan karena kesadaran.

Kecenderungan manusia melanggar aturan diingatkan oleh rasul Paulus melalui suratnya kepada jemaat di Roma (Rom. 1:1-13). Agar hidup sesuai dengan kehendak Allah, umat Israel diberikan panduan berupa aturan-aturan dalam Hukum Taurat, maksudnya agar umat Tuhan mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Kenyataannya, umat Israel cenderung melanggar, kalaupun mentaati hukum Taurat didasari karena takut & pamrih. Takut kalau tidak mentaati hukum Taurat mendapat hukuman, sebaliknya kalau mentaati hukum Taurat akan mendapat imbalan keselamatan, padahal hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan, keselamatan hanya di dalam kasih karunia melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.  Melalui Yesus Kristus kita tidak lagi hidup di bawah hukum Taurat, tetapi hidup baru menurut Roh (ay.6). Dengan hidup menurut Roh, kita melakukan Taat kepada kehendak Allah bukan lagi karena takut dan pamrih untuk mendapatkan keselamatan. Bagi kita yang percaya, keselamatan sudah disediakan, sehingga melakukan kehendak Allah merupakan ungkapan kasih kita kepada Allah yang dilakukan dengan sukacita dan bukan  karena terpaksa.

Sebagai orang percaya, ketaatan kita kepada Allah juga terlihat pada aturan-aturan di dalam kehidupan bermasyarakat. Kita taat bukan karena takut pada sangsi, melainkan karena aturan itu membawa kebaikan bagi kita semua. (Robert N. Kindangen)

Jumat, 10 Juni 2016

Kisah Rasul 15: 35-41 “Sama Sama Benar”

http://tekno.kompas.com/
Steve Jobs dan Bill Gates dikenal sebagai dua orang sahabat yang sama-sama bergerak di bidang teknologi. Jobs di Apple dan Gates di Microsoft. Mereka saling bersaing, dan terkadang keduanya melontarkan kritik tajam terhadap produk yang dikeluarkan. 
Namun, panasnya persaingan Microsoft dan Apple tetap tidak menggoyahkan persahabatan mereka berdua. Sepucuk surat memberi sedikit warna tentang cerita persahabatan di antara keduanya.
Dalam surat tersebut, Gates menuliskan rasa bangga menjadi sahabat Jobs, bahwa Jobs juga harus bangga akan apa yang telah dia ciptakan termasuk perusahaan yang dia rintis. "Tidak ada kedamaian yang harus diciptakan. Kita tidak sedang berperang. Kita membuat produk hebat dan saling berkompetisi secara positif. Tidak ada alasan untuk saling memaafkan," 
Setelah Jobs menutup mata untuk yang terakhir kali, istrinya memberitahukan suatu hal kepada Gates. "Jobs bangga menjadi sahabatmu dan dia menyimpan suratmu tersebut di tempat tidurnya."
Gates mengungkapkan bahwa dia akan mengenang Jobs sebagai sosok seorang kompetitor terbaik dan sebagai seorang sahabat. (Dikumpulkan dari berbagai sumber)

Paulus dan Barnabas adalah dua orang sahabat dalam pelayanan, sekalipun demikian tidak selalu mereka sependapat terhadap segala sesuatu. Saat merencanakan untuk mengunjungi jemaat-jemaat yang telah mereka layani, mereka berbeda pendapat mengenai rekan sepelayanan yang pernah mundur, yaitu Yohanes yang disebut juga Markus. Barnabas ingin membawanya (ay.37), tetapi Paulus dengan tegas menolak (ay.38). 
Perbedaan pendapat ini sampai pada satu titik dimana tidak mungkin dicari jalan tengah, kecuali harus berpisah. Mereka sama-sama meyakini apa yang mereka putuskan adalah benar.
Sekalipun demikian keputusan yang mereka buat tidak membuat mereka saling bermusuhan. Paulus tetap menghargai dan menilai baik Barnabas (1Kor. 9:6), bahkan setelah itu Paulus begitu memuji dan membutuhkan Markus (Kol. 4:10; Flm. 24; 2Tim. 4:11). Mereka tetap bersahabat.
Perselisihan yang terjadi di antara Paulus dan Barnabas tidak menghambat pelayanan mereka dan merugikan jemaat. Sebaliknya melalui pelayanan mereka berdua, jemaat-jemaat semakin terlayani   (ay.40-41). Berpisahnya Paulus dan Barnabas memungkinkan terbentuknya 2 tim pelayanan yang dipimpin oleh orang-orang yang beriman, berdedikasi untuk mewartakan Injil Yesus Kristus (ay.26).

Perbedaan pendapat dapat terjadi terhadap siapa saja dan dimana saja, termasuk di dalam persekutuan. Perbedaan pendapat tidak selalu berarti saya benar, kamu salah atau sebaliknya. Perbedaan pendapat bisa terjadi karena sama-sama pendapatnya benar. Ketika kita berbeda pendapat, minta pertolongan Tuhan untuk memberikan hikmat bagi kita menemukan penyelesaian yang terbaik, yang membangun dan tidak merusak. Sambil tetap melihat orang yang berbeda pendapat dengan kita sebagai sahabat. (Robert N. Kindangen)

Rabu, 08 Juni 2016

Matius 15:1-20 “‬Kristen & Adat Istiadat”

pingusenglishbintaro.wordpress.com
Sebagai orang Indonesia, kita hidup dan berada di lingkungan berbagai budaya etnik dari Sabang hingga ke Merauke. Budaya atau adat-istiadat itu mewarnai, bahkan mengendalikan sikap hidup keseharian kita sejak di dalam kandungan, peristiwa kelahiran, pernikahan,  sampai ajal menjemput.  Adat-istiadat warisan nenek moyang kita itu pada hakikatnya berisikan fatwa bagaimana berperilaku santun,  beretika terpuji, dan saling menghargai.
Perihal  bagaimana menjadi manusia yang saling mengasihi seperti tercermin di dalam tradisi atau adat-istiadat  juga mewarnai kehidupan orang Kristen. Itulah sebabnya, di berbagai wilayah di Indonesia lahir dan bertumbuh gereja yang berlatar etnik, misalnya   GKJ (Jawa), HKBP (Batak), GBKP (Karo),  GMIST (Sangir), GPM (Maluku), dan GKPS (Simalungun). Dalam konteks itu mitologi kedaerahan diadaptasi dan ditapis demikian rupa untuk kemuliaan Tuhan. Tentu saja aspek budaya yang tidak sejalan dengan panggilan Gereja harus kita tinggalkan. Kehadiran  Yesus Kristus di dunia ini hendaknya kita imani suatu keniscayaan yang membawa kita   ke dalam hidup baru dan  sejahtera.

Dalam bacaan kita dikatakan  orang-orang Farisi dan  ahli Taurat mempersoalkan murid-murid Yesus melanggar adat-istiadat karena tidak membasuh tangan sebelum makan (ay.1, 2). Mereka menuduhnya  tidak lagi menaati adat kebiasaan yang diwariskan oleh leluhurnya. Yesus mengingatkan mereka bahwa ketaatan terhadap perintah Allah harus di atas ketaatan terhadap tradisi atau adat-istiadat. (ay.3-9). Bagi Yesus, semua boleh dilakukan asalkan untuk kebesaran nama Tuhan!‬

Warga jemaat  GKP kaya akan keberagaman. Ada yang berasal dari etnik Jawa, Sunda, Batak, Minahasa, Maluku, Toraja, NTT, Tionghoa, Bali, Papua, dan suku-suku lain, yang masing-masing punya karakter dan gaya hidup bawaan sendiri. Itulah persekutuan kita bagaikan mozaik atau taman bunga  warna-warni yang  menyejukkan mata. Sama halnya dengan tradisi dan kearifan lokal Nusantara, hendaknya kita berdayakan untuk memperkaya penghayatan iman kristiani. Syaratnya,  Firman Tuhan yang menjadi filter atau penyaringnya! (Robert N. Kindangen)

Minggu, 05 Juni 2016

Markus 10:35-45 "Pemimpin = Pelayan"

www.solarpowerworldonline.com
Pemimpin perusahaan adalah jabatan yang menjadi dambaan banyak orang. Jadi, tidak mengherankan apabila ada pemimpin yang merasa dirinya hebat. Dalam benaknya akan ada bayangan bisa dengan sesuka hati  untuk memerintah bawahan. Ia juga merasa akan  mendapat fasilitas dan layanan terbaik di perusahaan yang dipimpinnya. Baginya tidak ada pemimpin yang melakukan  pekerjaan kasar seperti yang dikerjakan oleh karyawan rendahan.
Pernahkah Saudara menonton tayangan televisi luar negeri yang berjudul  “Undercover Boss”?  Dalam acara itu ada sesuatu yang menggelitik hati dan membuat diri kita berdecak kagum. Ceritanya begini! Ada sejumlah pemimpin perusahaan yang  menyamar selama satu minggu sebagai karyawan rendahan di perusahaannya sendiri. Apa yang dialaminya? Mereka  merasakan sendiri bagaimana sulitnya bekerja di bawah tekanan target dengan  gaji yang kecil. Belum lagi terkadang dimarahi atau diomeli oleh atasannya. Karena kesibukannya,  mereka nyaris tidak punya waktu bersama dengan keluarganya. Pengalaman bos-bos yang menyaru sebagai pegawai kecil itu sungguh sangat berharga. Kini mereka sadar bagaimana mengubah sikap seorang pemimpin yang dilayani menjadi pemimpin yang melayani.

Pemimpin yang melayani, yang Yesus ajarkan bagi murid-murid-Nya. Itulah sebabnya ketika murid-murid-Nya berselisih karena kedudukan, Yesus mengajarkan bahwa siapa yang ingin menjadi besar hendaklah melayani yang lain (ay.43), siapa yang ingin menjadi terkemuka harus menjadi hamba yang lain (ay.44). Yesus tidak hanya sekedar berteori tapi memberikan keteladanan dengan kedatangan Yesus ke dunia bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan mengorbankan nyawa-Nya agar supaya manusia diselamatkan (ay.45). Kepemimpinan yang melayani harus didasari dengan Kasih, yang akan membuat melayani menjadi kesukacitaan.

Sebagai orang percaya, kita diminta untuk menjadi pemimpin yang melayani.  Apakah kepemimpinan kita dalam pekerjaan, keluarga, persekutuan, dimanapun kita dipercayakan Tuhan hadir dan berkarya, kita diminta melayani. Apapun status kita,  baik sebagai orang tua, anak, kakak, adik, kita diminta melayani,  meneladani Yesus untuk saling melayani satu sama yang lain. Betapa indahnya keluarga kita, perekutuan kita, lingkungan tempat tinggal kita, tempat bekerja kita, negara kita, jika setiap orang saling melayani satu sama lain. (Robert N. Kindangen)

Jumat, 03 Juni 2016

Yosua 14: 1-15 “Warisan”

www.hukumonline.com
Hampir setiap kita ingin mewariskan sesuatu, kepada pasangan kita, anak-anak kita, anggota keluarga kita, atau generasi penerus kita. Kebanyakan warisan dalam bentuk materi, seperti uang, harta, bangunan, atau tanah,  dengan harapan warisan itu bermanfaat bagi yang menerima.
Sayangnya, warisan dalam bentuk materi seringkali justru menciptakan konflik, misalnya bagi anggota keluarga yang menerima.
Warisan apakah yang paling bernilai?
Cat Steven, seorang musisi pernah mengungkapkan “The greatest legacy is that which benefits the widest number of people for the longest period without limit to value. – Warisan terhebat adalah sesuatu yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan berlangsung selamanya.”

Bagian Alkitab yang kita baca, menceritakan mengenai warisan Kaleb bin Yefune. Pada usia delapan puluh lima tahun, Kaleb menerima wilayah Hebron sebagai milik pusaka yang akan diwariskannya kepada anak-anaknya turun temurun. (ay.9, 13)
Namun warisan yang paling bernilai dari Kaleb bin Yefune bukanlah tanah Hebron, melainkan nilai hidup berupa iman dan kesetiaannya terhadap Tuhan.

Iman dan kesetiaan Kaleb ditunjukkan ketika ia menjadi salah satu dari 12 pengintai yang dikirim Musa mengintai Kanaan. 10 orang pengintai pulang membawa kabar yang membuat ketakutan orang Israel dan menunjukkan ketidak percayaan mereka terhadap Allah. Hanya Kaleb dan Yosua yang membawa kabar yang sejujur-jujurnya (ay.7), mereka berdua tetap percaya. Ketika ke-10 pengintai membuat tawar hati bangsa Israel, Kaleb tetap setia mengikuti TUHAN, Allah, dengan sepenuh hati (ay.8-9). Iman dan kesetiaan Kaleb terus bertahan sejak dia muda sampai lanjut usia (Ay.11).
Iman dan Kesetiaan Kaleb merupakan warisan paling bernilai, bukan saja diterima oleh keturunannya, melainkan dirasakan juga orang percaya di berbagai jaman, termasuk kita yang ada saat ini.
Iman dan kesetiaan yang kita miliki juga akan menjadi warisan yang sangat bernilai bagi anggota keluarga kita, keturunan kita, juga orang-orang lain yang menjadi percaya karena teladan iman kita.
Sudahkah kita mempersiapkan warisan kita?

“Warisan yang paling berharga yang diberikan oleh orang percaya bukanlah materi yang sifatnya fana, tapi iman dan kesetiaan yang bernilai kekal.” (Robert N. Kindangen)

Rabu, 01 Juni 2016

Yohanes 7:53-8:11 “Menepuk Air Di Dulang, Terpercik Muka Sendiri”

Pernahkah Saudara mendengar  peribahasa yang berbunyi “Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri?” Isinya berupa petuah yang patut kita simak dalam kehidupan keseharian kita. Kearifan lokal nenek moyang kita itu ditujukan kepada seseorang yang  melakukan suatu perbuatan, tetapi  merugikan atau mempermalukan diri sendiri.

Peribahasa itu cocok dengan apa yang dialami oleh orang Farisi dan para ahli Taurat. Semula mereka bermaksud  untuk mempermalukan Yesus, tetapi ternyata mereka sendiri yang mendapat malu. Ketika itu terjadi suatu peristiwa penangkapan seorang perempuan yang berbuat zinah. Mereka  menangkap dan menggiring  perempuan itu  ke hadapan Yesus, lalu bertanya, “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika  sedang berbuat zinah. Dalam hukum Taurat Musa diperintahkan agar kita  melempari perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”
Dengan pertanyaan ini mereka ingin menjebak Yesus dengan jawaban-Nya. Menurut pemikiran mereka hanya ada dua kemungkinan jawaban Yesus, menyetujui perempuan ini dihukum atau membebaskannya. Kalau Yesus setuju untuk menghukum perempuan ini, mereka akan mempersoalkan kasih dan keberpihakan Yesus terhadap orang-orang yang lemah. Kalau Yesus membebaskan perempuan ini, maka Yesus akan dianggap melanggar hukum Taurat.
Ternyata jawaban Yesus diluar perkiraan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus justru mengatakan "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu". Jawaban Yesus menyadarkan bahwa mereka sama-sama berdosa seperti perempuan ini. Sehingga satu persatu mereka pulang sampai hanya perempuan ini dan Yesus yang tinggal.

Sebagai orang percaya, kadang kita juga masih suka mencari-cari kesalahan orang lain, seperti yang dilakukan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Melalui peristiwa ini kita diingatkan untuk jangan suka mencari-cari kesalahan orang lain, karena tidak satupun di antara kita yang tidak pernah berbuat dosa, tapi sapalah saudara kita yang melakukan kesalahan dengan kasih yang memulihkan dan membawa pertobatan, yaitu kasih dari Yesus Kristus.
“Kasih membawa pertobatan bukan penghukuman.” (Robert N. Kindangen)

Minggu, 29 Mei 2016

Lukas 14:7-14 “Terhormat”

Hasil gambar untuk nama jalanBanyak  nama pahlawan, baik lokal maupun nasional, dijadikan nama jalan sebagai bentuk penghormatan atas jasa yang diperlihatkan ketika masih  hidup. Namun, di Mojokerto terkesan beda!  Nama Bupati Mojokerto--masih hidup dan sedang memerintah--diabadikan  menjadi nama jalan yang menghubungkan wisata air panas Padusan dengan Desa Claket. Apa salahnya?
Pemberian nama jalan itu mengundang pertanyaan karena bukan usulan dari masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada sang bupati. Menurut salah seorang anggota DPRD Kabupaten Mojokerto, pemberian nama jalan dengan nama bupati tersebut  sarat dengan muatan politik menyongsong Pemilihan  Bupati. Nuansanya, kepala daerah itu menobatkan  dirinya sebagai  sosok terpandang sehingga namanya  layak dijadikan nama jalan.

Manusia pada dasarnya ingin dihormati, berbagai macam cara dilakukan untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang terhormat.  Seperti dalam sebuah pesta pernikahan yang dihadiri Yesus.  Yesus memperhatikan di antara tamu-tamu yang datang di pesta perkawinan berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan (ay.7). Tamu-tamu tersebut berusaha duduk di tempat kehormatan karena menilai dirinya terhormat. Padahal penilaian terhormat atau tidaknya seseorang bukan dinilai oleh diri sendiri tetapi oleh orang lain. Itulah sebabnya Yesus mengatakan kalau diundang ke pesta perkawinan jangan duduk di tempat kehormatan , tetapi di tempat yang paling rendah mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain (ay.10).

Melalui perumpamaan ini, Yesus mau mengajarkan sikap hidup orang percaya, yaitu rendah hati dan mempunyai kualitas hidup seperti yang Tuhan harapkan, yaitu mengasihi Tuhan, mengasihi sesama, memberi pengaruh baik pada orang-orang disekitar kita, tulus, tanpa mengharapkan penghormatan.

“Terhormat merupakan penilaian orang lain atas baiknya kualitas hidup seseorang, dan bukan karena penilaian diri sendiri.”  (Robert N. Kindangen)

Jumat, 27 Mei 2016

1 Tesalonika 2:13-20 “Alasan Bersukacita”

Hari itu, seorang bapak tukang becak mengayuh becaknya dengan muka bersukacita, tak henti-hentinya dia tersenyum mengantar dengan becaknya seorang gadis yang berpakaian rapi dan mengenakan toga wisuda. Bapak tukang becak itu bernama Mulyono, dan gadis yang akan diwisuda itu adalah Raeni putrinya.
Membiayai kuliah Raeni putrinya bukan hal yang mudah bagi Mulyono. Namun tekad untuk menyekolahkan anaknya di Universitas membuat Mulyono berkorban. Dia mengambil keputusan untuk pensiun dini dari perusahaan kayu lapis tempatnya bekerja, demi mendapatkan pesangon untuk biaya kuliah putrinya. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari Mugiyono memutuskan untuk menarik becak, dan menyambi sebagai penjaga sekolah.
Pengorbanan Mulyono berbuah manis, pada 10 Juni 2014, Raeni Putrinya lulus dan ditetapkan sebagai wisudawati terbaik Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,96. Keberhasilan studi putrinya menjadi alasan bagi Mulyono untuk bangga dan bersukacita.

Bagi rasul Paulus, alasannya untuk  bersukacita adalah karena orang-orang Tesalonika yang dilayaninya melalui pemberitaan Injil memberi respon dengan percaya kepada Firman Allah, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi sungguh-sungguh sebagai firman Allah, firman itu bekerja sehingga jemaat bertumbuh dalam iman (ay.13), mereka bukan sekedar percaya tapi menjadi pelaku Firman yang sungguh-sungguh. Mereka juga menunjukkan kesetiaan ditengah-tengah penderitaan, penganiayaan (ay.14) yang mereka alami. Mereka menunjukkan cara hidup orang percaya  kepada Yesus Kristus.
Paulus tidak bersukacita karena penderitaan yang mereka alami, melainkan bersukacita karena akan kualitas iman mereka. Penderitaan yang mereka tanggung memperlihatkan kesungguhan iman mereka dalam Yesus Kristus. Penderitaan mereka hanya sementara yang akan digantikan dengan kemuliaan kekal yang Tuhan Yesus sediakan.

Apakah alasan kita bersukacita, apakah karena karena mempunyai harta, jabatan, status sosial, pendidikan, penampilan fisik yang menarik, rasa aman, atau hal-hal lain yang menguntungkan atau menyenangkan kita?
Rasul Paulus memiliki alasan yang bernilai kekal, yaitu sukacita karena mewartakan Injil dan melihat perwartaan Injil itu berbuah melalui pertumbuhan iman, dan kesetiaan yang ditunjukkan oleh jemaat yang mereka layani.
Sebagai orang percaya, kita juga mempunyai tugas pelayanan yang Tuhan percayakan, marilah melayani dan kita akan bersukacita didalam Tuhan. (Robert N. Kindangen)

Kamis, 26 Mei 2016

Yohanes 4:1-26; 39-42 “Menjangkau yang terpinggirkan”

Ketika mendengar kata lembaga Pemasyarakatan (LP), secara spontan kita membayangkan tempat yang dipenuhi oleh orang jahat, pelaku onar, atau  orang bermasa depan suram. Sesungguhnya LP adalah tempat para terpidana untuk mendapatkan pembinaan agar   kelak   berubah sikap, lalu menjadi orang baik setelah kembali ke tengah masyarakat. Sekalipun demikian masih banyak yang berpendapat bahwa LP sedapat-dapatnya dihindari untuk dikunjungi, kecuali sangat terpaksa.

Syukurlah gereja tidak menghindari pelayanan di LP. Baru-baru ini warga jemaat GKP Seroja melakukan kebaktian rutin ke LP Bulak Kapal, Bekasi. Kebaktian ini  termasuk program pelayanan sosial Klasis GKP wilayah Bekasi yang diadakan setiap bulan dan secara bergantian dilayani oleh jemaat-jemaat GKP di Klasis Bekasi termasuk GKP Seroja. Terlihat kerinduan dan semangat dari warga binaan mengikuti kebaktian, menyanyikan lagu-lagu pujian, dan dengan tekun menyimak firman Tuhan.

Daerah Samaria bagi orang Yahudi, adalah daerah yang sedapat-dapatnya dihindari untuk dikunjungi. Bagi orang Yahudi, orang Samaria adalah bangsa Yahudi yang tidak menjaga kemurnian bangsa Yahudi, karena mereka menikah dengan bangsa-bangsa lain yang bukan Yahudi.
Ketika Yesus melakukan perjalanan dari Yudea ke Galilea, ada 2 alternatif jalan, yaitu melalui sungai Yordan dan melalui daerah Samaria. Yesus sengaja memilih untuk melewati daerah Samaria dan menemui perempuan yang membutuhkan air hidup lebih dari air untuk kelangsungan hidup jasmaninya (ayat 4,7).
Perempuan Samaria ini tidak disukai bukan hanya oleh orang Yahudi tapi juga masyarakat Samaria sendiri, itulah sebabnya perempuan ini mengambil air sendirian di siang hari agar tidak bertemu dengan orang lain (ay.6).  Da dianggap perempuan berdosa karena hidup bersama seorang lelaki tanpa menikah (ay.18).
Inisiatif Yesus untuk melewati daerah yang dihindari banyak orang yaitu daerah Samaria, dan bertemu perempuan yang dihindari orang Samaria membawa perubahan besar baukan saja bagi perempuan ini, tapi juga bagi banyak orang Samaria lainnya. Pertemuan dengan Yesus merubah perempuan Samaria ini, bukan saja menjadi percaya kepada Yesus tapi juga menjadi saksi bagi banyak orang Samaria yang menjadi percaya karena kesaksiannya (ay.39).

Sebagai orang percaya, kita diingatkan meneladani Yesus menjangkau dengan kasih orang-orang lain yang dijauhi oleh masyarakat. Sama seperti kita, merekapun berharga dan dikasihi oleh Yesus. (Robert N. Kindangen)

Rabu, 25 Mei 2016

Lukas 14:25-35 “Setengah Jadi”

Di sebuah sudut jalan kompleks perumahan di daerah Bekasi Utara, ada rumah besar setengah jadi,  rumah yang direncanakan akan dibangun megah tapi bertahun-tahun tidak pernah selesai pembangunannya, sehingga menjadi bangunan yang tidak terawat.  Bahkan ada tulisan DIJUAL di depan rumah setengah jadi itu. Rumah ini hanya setengah jadi karena dibangun tanpa perhitungan matang.


Perhitungan matang tidak hanya diharuskan dalam membangun bangunan fisik, tapi juga menjadi murid Tuhan Yesus. Melalui perumpamaan mendirikan menara (ay.28-30) dan raja yang maju berperang (ay.31-32), Tuhan Yesus mengingatkan agar yang direncanakan berhasil, sebelumnya harus diperhitungkan dengan matang, jika tidak hasilnya mengecewakan dan membuat malu. Mengikut Tuhan Yesus tidak boleh setengah-setengah, harus sepenuh hati, karena murid Tuhan Yesus lekat dengan kesulitan dan tantangan, kasih dan kesetiaaan kepada Yesus harus lebih besar daripada kepada keluarga kita sendiri (ay.26), ada salib yang harus dipikul (ay.27), dan mau melepaskan diri dari keterikatan terhadap segala milik kita (ay.33), kesungguhan hati adalah syarat mutlak menjadi murid Tuhan Yesus.



Perhitungan yang tidak matang hanya akan membuat kita menjadi murid setengah jadi, yang hanya akan mempermalukan Tuhan Yesus dan diri sendiri. Tanpa kesungguhan hati, ibarat garam yang tidak asin, kehilangan fungsinya, tidak berguna. Menjadi murid Tuhan yang setengah jadi sama saja dengan tidak berfungsi apa-apa. Tidak ada gunanya selain dibuang! (ay.34-35). (Robert N. Kindangen)

Selasa, 24 Mei 2016

Kisah Para Rasul 3 : 11 – 26 “Kesempatan Bersaksi”


Pada suatu malam di sebuah desa yang terpencil, ada seorang ibu yang hendak melahirkan, hanya ditemani oleh seorang anaknya yang laki-laki. Mereka menelepon ambulan untuk mengantar sang ibu ke rumah sakit.
Saat itu hujan badai, sehingga perjalanan ambulans terhambat. Akhirnya petugas dalam mobil ambulans mencari bantuan di pos polisi terdekat untuk menyelamatkan sang ibu. Polisi pun dapat menyelamatkan sang ibu sehingga ia dapat melahirkan dengan selamat.

Namun, ada satu hal yang dilupakan oleh polisi dan regu penyelamat, yaitu anak laki-laki yang masih berada di dalam rumah. Mereka pun bergegas kembali untuk menyelamatkan anak itu, di tengah situasi hujan deras dan air yang semakin tinggi. Dengan penuh perjuangan, mereka akhirnya dapat menyelamatkan anak itu dan membawanya ke tempat pengungsian. Anak itu menggigil kedinginan dan merasa sangat ketakutan.
Ia pun bertanya pada salah seorang regu penyelamat, “Apakah bapak ini Tuhan?”
Seorang regu penyelamat bertanya, “Mengapa kamu bertanya seperti itu?”
Anak itu pun menjawab, “Kata ibuku, di saat seperti ini hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kita.”
“Aku bukan Tuhan, Nak, tapi aku diutus Tuhan untuk menolongmu”. (Intisari-Online.com)

Sebagai orang percaya, siapapun kita diutus untuk bersaksi. Begitu banyak kesempatan bagi kita untuk menjadi saksi.
Petrus menggunakan kesempatan melalui kesembuhan orang lumpuh sejak lahirnya (ay.1-10) untuk bersaksi tentang Yesus Kristus bahwa kesembuhan itu terjadi bukan karena kehebatan Petrus, melainkan oleh kuasa Yesus Kristus (ay.16),  Yesus yang mereka tolak dan salibkan sampai mati, tetapi bangkit dari antara orang mati, Yesus yang adalah Mesias yang menyelamatkan manusia berdosa melalui penderitaan dan kematian-Nya. Melalui Yesus Kristus, setiap orang yang sadar dan  bertobat memperoleh pengampunan.

Seperti Petrus yang menjadikan peristiwa kesembuhan orang lumpuh itu untuk memberitakan kabar baik, maka kitapun diberi banyak kesempatan untuk menjadi saksi Kristus melalui pikiran, perkataan, dan tindakan kita setiap hari.
Melalui pertolongan terhadap tetangga yang kekurangan, melalui kunjungan terhadap mereka yang sakit, melalui kata-kata kekuatan dan dukungan doa kepada mereka yang sedang mengalami pergumulan, melalui bantuan beasiswa kepada anak sekolah yang kurang mampu, dan masih banyak kesempatan yang diberikan Tuhan bagi kita menjadi saksi, kesempatan yang merupakan waktu anugerah Tuhan di hidup kita yang singkat ini. (Robert N. Kindangen)

Sabtu, 21 Mei 2016

2 Korintus 8:13-15 “Dia Ini Saudaraku”

Ada seorang anak lelaki kurus berjalan sambil menggendong adiknya yg lumpuh di punggungnya. Seseorang memperhatikannya dan berkomentar prihatin; " Kasihan kau nak, bebanmu pasti berat!" Lalu anak itu dengan wajah yang gembira menjawab secara spontan ; "Dia bukan beban buat saya pak, dia ini saudaraku ! ". Itulah kisah dibalik lirik lagu pop karangan Bobby Scott dan Bob Russel; "He Ain't Heavy, He's My Brother."
Suatu perbuatan yang dianggap beban atau kerugian bagi orang lain, ternyata merupakan kegembiraan bagi orang lain. Jika seseorang melakukannya dan tetap bergembira, pasti ada cinta kasih dalam hatinya. Dalam cerita di atas, cinta kasih yang ditunjukkan kakak terhadap adiknya.

Demikian juga yang dilakukan oleh jemaat-jemaat di Makedonia, yaitu jemaat Filipi, Tesalonika, Berea, dll.  Di tengah-tengah berbagai kesulitan dan kemiskinan yang mereka alami, mereka justru menunjukkan kemurahan hati dengan memberikan dukungan dana terhadap anggota jemaat miskin di Yerusalem. Hebatnya, mereka tidak menganggap apa yang mereka lakukan sebagai beban, tapi justru sebagai sukacita. Mereka bersukacita karena beroleh kesempatan untuk menolong saudara seiman yang sedang kesusahan, saudara seiman yang mereka kasihi.
Kalau jemaat-jemaat di Makedonia bisa memberikan pertolongan di tengah-tengah kesulitan yang mereka alami, apalagi jemaat Korintus yang  diberi berkat berkecukupan oleh Tuhan. Paulus mengingatkan jemaat Korintus bahwa apa yang mereka miliki adalah adalah anugerah dari Allah  untuk menolong saudara-saudara seiman yang sedang kekurangan di Yerusalem. Memberikan pertolongan kepada sesama yang kekurangan adalah respon orang percaya, yang dilakukan dengan sukacita dan bukan sebagai beban, karena dilakukan dengancinta kasih. Pertolongan mereka akan mencukupkan kekurangan saudara mereka.

Sebagai orang percaya kita juga diingatkan, berkat kecukupan yang kita miliki yang merupakan berkat dari Tuhan, adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk menolong sesama kita yang membutuhkan. Dasar dari pemberian adalah cinta kasih yang diteladankan Yesus Kristus. Kalau cinta kasih Yesus Kristus yang menjadi dasar kita, maka pertolongan yang kita berikan kepada sesama kita tidak akan pernah kita anggap sebagai beban, melainkan sukacita, dan kita bisa berkata kita melakukannya karena “dia ini saudaraku”. (Robert N. Kindangen)