![]() |
Perihal bagaimana menjadi manusia yang saling mengasihi seperti tercermin di dalam tradisi atau adat-istiadat juga mewarnai kehidupan orang Kristen. Itulah sebabnya, di berbagai wilayah di Indonesia lahir dan bertumbuh gereja yang berlatar etnik, misalnya GKJ (Jawa), HKBP (Batak), GBKP (Karo), GMIST (Sangir), GPM (Maluku), dan GKPS (Simalungun). Dalam konteks itu mitologi kedaerahan diadaptasi dan ditapis demikian rupa untuk kemuliaan Tuhan. Tentu saja aspek budaya yang tidak sejalan dengan panggilan Gereja harus kita tinggalkan. Kehadiran Yesus Kristus di dunia ini hendaknya kita imani suatu keniscayaan yang membawa kita ke dalam hidup baru dan sejahtera.
Dalam bacaan kita dikatakan orang-orang Farisi dan ahli Taurat mempersoalkan murid-murid Yesus melanggar adat-istiadat karena tidak membasuh tangan sebelum makan (ay.1, 2). Mereka menuduhnya tidak lagi menaati adat kebiasaan yang diwariskan oleh leluhurnya. Yesus mengingatkan mereka bahwa ketaatan terhadap perintah Allah harus di atas ketaatan terhadap tradisi atau adat-istiadat. (ay.3-9). Bagi Yesus, semua boleh dilakukan asalkan untuk kebesaran nama Tuhan!
Warga jemaat GKP kaya akan keberagaman. Ada yang berasal dari etnik Jawa, Sunda, Batak, Minahasa, Maluku, Toraja, NTT, Tionghoa, Bali, Papua, dan suku-suku lain, yang masing-masing punya karakter dan gaya hidup bawaan sendiri. Itulah persekutuan kita bagaikan mozaik atau taman bunga warna-warni yang menyejukkan mata. Sama halnya dengan tradisi dan kearifan lokal Nusantara, hendaknya kita berdayakan untuk memperkaya penghayatan iman kristiani. Syaratnya, Firman Tuhan yang menjadi filter atau penyaringnya! (Robert N. Kindangen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar