Minggu, 29 Mei 2016

Lukas 14:7-14 “Terhormat”

Hasil gambar untuk nama jalanBanyak  nama pahlawan, baik lokal maupun nasional, dijadikan nama jalan sebagai bentuk penghormatan atas jasa yang diperlihatkan ketika masih  hidup. Namun, di Mojokerto terkesan beda!  Nama Bupati Mojokerto--masih hidup dan sedang memerintah--diabadikan  menjadi nama jalan yang menghubungkan wisata air panas Padusan dengan Desa Claket. Apa salahnya?
Pemberian nama jalan itu mengundang pertanyaan karena bukan usulan dari masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada sang bupati. Menurut salah seorang anggota DPRD Kabupaten Mojokerto, pemberian nama jalan dengan nama bupati tersebut  sarat dengan muatan politik menyongsong Pemilihan  Bupati. Nuansanya, kepala daerah itu menobatkan  dirinya sebagai  sosok terpandang sehingga namanya  layak dijadikan nama jalan.

Manusia pada dasarnya ingin dihormati, berbagai macam cara dilakukan untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang terhormat.  Seperti dalam sebuah pesta pernikahan yang dihadiri Yesus.  Yesus memperhatikan di antara tamu-tamu yang datang di pesta perkawinan berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan (ay.7). Tamu-tamu tersebut berusaha duduk di tempat kehormatan karena menilai dirinya terhormat. Padahal penilaian terhormat atau tidaknya seseorang bukan dinilai oleh diri sendiri tetapi oleh orang lain. Itulah sebabnya Yesus mengatakan kalau diundang ke pesta perkawinan jangan duduk di tempat kehormatan , tetapi di tempat yang paling rendah mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain (ay.10).

Melalui perumpamaan ini, Yesus mau mengajarkan sikap hidup orang percaya, yaitu rendah hati dan mempunyai kualitas hidup seperti yang Tuhan harapkan, yaitu mengasihi Tuhan, mengasihi sesama, memberi pengaruh baik pada orang-orang disekitar kita, tulus, tanpa mengharapkan penghormatan.

“Terhormat merupakan penilaian orang lain atas baiknya kualitas hidup seseorang, dan bukan karena penilaian diri sendiri.”  (Robert N. Kindangen)

Jumat, 27 Mei 2016

1 Tesalonika 2:13-20 “Alasan Bersukacita”

Hari itu, seorang bapak tukang becak mengayuh becaknya dengan muka bersukacita, tak henti-hentinya dia tersenyum mengantar dengan becaknya seorang gadis yang berpakaian rapi dan mengenakan toga wisuda. Bapak tukang becak itu bernama Mulyono, dan gadis yang akan diwisuda itu adalah Raeni putrinya.
Membiayai kuliah Raeni putrinya bukan hal yang mudah bagi Mulyono. Namun tekad untuk menyekolahkan anaknya di Universitas membuat Mulyono berkorban. Dia mengambil keputusan untuk pensiun dini dari perusahaan kayu lapis tempatnya bekerja, demi mendapatkan pesangon untuk biaya kuliah putrinya. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari Mugiyono memutuskan untuk menarik becak, dan menyambi sebagai penjaga sekolah.
Pengorbanan Mulyono berbuah manis, pada 10 Juni 2014, Raeni Putrinya lulus dan ditetapkan sebagai wisudawati terbaik Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,96. Keberhasilan studi putrinya menjadi alasan bagi Mulyono untuk bangga dan bersukacita.

Bagi rasul Paulus, alasannya untuk  bersukacita adalah karena orang-orang Tesalonika yang dilayaninya melalui pemberitaan Injil memberi respon dengan percaya kepada Firman Allah, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi sungguh-sungguh sebagai firman Allah, firman itu bekerja sehingga jemaat bertumbuh dalam iman (ay.13), mereka bukan sekedar percaya tapi menjadi pelaku Firman yang sungguh-sungguh. Mereka juga menunjukkan kesetiaan ditengah-tengah penderitaan, penganiayaan (ay.14) yang mereka alami. Mereka menunjukkan cara hidup orang percaya  kepada Yesus Kristus.
Paulus tidak bersukacita karena penderitaan yang mereka alami, melainkan bersukacita karena akan kualitas iman mereka. Penderitaan yang mereka tanggung memperlihatkan kesungguhan iman mereka dalam Yesus Kristus. Penderitaan mereka hanya sementara yang akan digantikan dengan kemuliaan kekal yang Tuhan Yesus sediakan.

Apakah alasan kita bersukacita, apakah karena karena mempunyai harta, jabatan, status sosial, pendidikan, penampilan fisik yang menarik, rasa aman, atau hal-hal lain yang menguntungkan atau menyenangkan kita?
Rasul Paulus memiliki alasan yang bernilai kekal, yaitu sukacita karena mewartakan Injil dan melihat perwartaan Injil itu berbuah melalui pertumbuhan iman, dan kesetiaan yang ditunjukkan oleh jemaat yang mereka layani.
Sebagai orang percaya, kita juga mempunyai tugas pelayanan yang Tuhan percayakan, marilah melayani dan kita akan bersukacita didalam Tuhan. (Robert N. Kindangen)

Kamis, 26 Mei 2016

Yohanes 4:1-26; 39-42 “Menjangkau yang terpinggirkan”

Ketika mendengar kata lembaga Pemasyarakatan (LP), secara spontan kita membayangkan tempat yang dipenuhi oleh orang jahat, pelaku onar, atau  orang bermasa depan suram. Sesungguhnya LP adalah tempat para terpidana untuk mendapatkan pembinaan agar   kelak   berubah sikap, lalu menjadi orang baik setelah kembali ke tengah masyarakat. Sekalipun demikian masih banyak yang berpendapat bahwa LP sedapat-dapatnya dihindari untuk dikunjungi, kecuali sangat terpaksa.

Syukurlah gereja tidak menghindari pelayanan di LP. Baru-baru ini warga jemaat GKP Seroja melakukan kebaktian rutin ke LP Bulak Kapal, Bekasi. Kebaktian ini  termasuk program pelayanan sosial Klasis GKP wilayah Bekasi yang diadakan setiap bulan dan secara bergantian dilayani oleh jemaat-jemaat GKP di Klasis Bekasi termasuk GKP Seroja. Terlihat kerinduan dan semangat dari warga binaan mengikuti kebaktian, menyanyikan lagu-lagu pujian, dan dengan tekun menyimak firman Tuhan.

Daerah Samaria bagi orang Yahudi, adalah daerah yang sedapat-dapatnya dihindari untuk dikunjungi. Bagi orang Yahudi, orang Samaria adalah bangsa Yahudi yang tidak menjaga kemurnian bangsa Yahudi, karena mereka menikah dengan bangsa-bangsa lain yang bukan Yahudi.
Ketika Yesus melakukan perjalanan dari Yudea ke Galilea, ada 2 alternatif jalan, yaitu melalui sungai Yordan dan melalui daerah Samaria. Yesus sengaja memilih untuk melewati daerah Samaria dan menemui perempuan yang membutuhkan air hidup lebih dari air untuk kelangsungan hidup jasmaninya (ayat 4,7).
Perempuan Samaria ini tidak disukai bukan hanya oleh orang Yahudi tapi juga masyarakat Samaria sendiri, itulah sebabnya perempuan ini mengambil air sendirian di siang hari agar tidak bertemu dengan orang lain (ay.6).  Da dianggap perempuan berdosa karena hidup bersama seorang lelaki tanpa menikah (ay.18).
Inisiatif Yesus untuk melewati daerah yang dihindari banyak orang yaitu daerah Samaria, dan bertemu perempuan yang dihindari orang Samaria membawa perubahan besar baukan saja bagi perempuan ini, tapi juga bagi banyak orang Samaria lainnya. Pertemuan dengan Yesus merubah perempuan Samaria ini, bukan saja menjadi percaya kepada Yesus tapi juga menjadi saksi bagi banyak orang Samaria yang menjadi percaya karena kesaksiannya (ay.39).

Sebagai orang percaya, kita diingatkan meneladani Yesus menjangkau dengan kasih orang-orang lain yang dijauhi oleh masyarakat. Sama seperti kita, merekapun berharga dan dikasihi oleh Yesus. (Robert N. Kindangen)

Rabu, 25 Mei 2016

Lukas 14:25-35 “Setengah Jadi”

Di sebuah sudut jalan kompleks perumahan di daerah Bekasi Utara, ada rumah besar setengah jadi,  rumah yang direncanakan akan dibangun megah tapi bertahun-tahun tidak pernah selesai pembangunannya, sehingga menjadi bangunan yang tidak terawat.  Bahkan ada tulisan DIJUAL di depan rumah setengah jadi itu. Rumah ini hanya setengah jadi karena dibangun tanpa perhitungan matang.


Perhitungan matang tidak hanya diharuskan dalam membangun bangunan fisik, tapi juga menjadi murid Tuhan Yesus. Melalui perumpamaan mendirikan menara (ay.28-30) dan raja yang maju berperang (ay.31-32), Tuhan Yesus mengingatkan agar yang direncanakan berhasil, sebelumnya harus diperhitungkan dengan matang, jika tidak hasilnya mengecewakan dan membuat malu. Mengikut Tuhan Yesus tidak boleh setengah-setengah, harus sepenuh hati, karena murid Tuhan Yesus lekat dengan kesulitan dan tantangan, kasih dan kesetiaaan kepada Yesus harus lebih besar daripada kepada keluarga kita sendiri (ay.26), ada salib yang harus dipikul (ay.27), dan mau melepaskan diri dari keterikatan terhadap segala milik kita (ay.33), kesungguhan hati adalah syarat mutlak menjadi murid Tuhan Yesus.



Perhitungan yang tidak matang hanya akan membuat kita menjadi murid setengah jadi, yang hanya akan mempermalukan Tuhan Yesus dan diri sendiri. Tanpa kesungguhan hati, ibarat garam yang tidak asin, kehilangan fungsinya, tidak berguna. Menjadi murid Tuhan yang setengah jadi sama saja dengan tidak berfungsi apa-apa. Tidak ada gunanya selain dibuang! (ay.34-35). (Robert N. Kindangen)

Selasa, 24 Mei 2016

Kisah Para Rasul 3 : 11 – 26 “Kesempatan Bersaksi”


Pada suatu malam di sebuah desa yang terpencil, ada seorang ibu yang hendak melahirkan, hanya ditemani oleh seorang anaknya yang laki-laki. Mereka menelepon ambulan untuk mengantar sang ibu ke rumah sakit.
Saat itu hujan badai, sehingga perjalanan ambulans terhambat. Akhirnya petugas dalam mobil ambulans mencari bantuan di pos polisi terdekat untuk menyelamatkan sang ibu. Polisi pun dapat menyelamatkan sang ibu sehingga ia dapat melahirkan dengan selamat.

Namun, ada satu hal yang dilupakan oleh polisi dan regu penyelamat, yaitu anak laki-laki yang masih berada di dalam rumah. Mereka pun bergegas kembali untuk menyelamatkan anak itu, di tengah situasi hujan deras dan air yang semakin tinggi. Dengan penuh perjuangan, mereka akhirnya dapat menyelamatkan anak itu dan membawanya ke tempat pengungsian. Anak itu menggigil kedinginan dan merasa sangat ketakutan.
Ia pun bertanya pada salah seorang regu penyelamat, “Apakah bapak ini Tuhan?”
Seorang regu penyelamat bertanya, “Mengapa kamu bertanya seperti itu?”
Anak itu pun menjawab, “Kata ibuku, di saat seperti ini hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kita.”
“Aku bukan Tuhan, Nak, tapi aku diutus Tuhan untuk menolongmu”. (Intisari-Online.com)

Sebagai orang percaya, siapapun kita diutus untuk bersaksi. Begitu banyak kesempatan bagi kita untuk menjadi saksi.
Petrus menggunakan kesempatan melalui kesembuhan orang lumpuh sejak lahirnya (ay.1-10) untuk bersaksi tentang Yesus Kristus bahwa kesembuhan itu terjadi bukan karena kehebatan Petrus, melainkan oleh kuasa Yesus Kristus (ay.16),  Yesus yang mereka tolak dan salibkan sampai mati, tetapi bangkit dari antara orang mati, Yesus yang adalah Mesias yang menyelamatkan manusia berdosa melalui penderitaan dan kematian-Nya. Melalui Yesus Kristus, setiap orang yang sadar dan  bertobat memperoleh pengampunan.

Seperti Petrus yang menjadikan peristiwa kesembuhan orang lumpuh itu untuk memberitakan kabar baik, maka kitapun diberi banyak kesempatan untuk menjadi saksi Kristus melalui pikiran, perkataan, dan tindakan kita setiap hari.
Melalui pertolongan terhadap tetangga yang kekurangan, melalui kunjungan terhadap mereka yang sakit, melalui kata-kata kekuatan dan dukungan doa kepada mereka yang sedang mengalami pergumulan, melalui bantuan beasiswa kepada anak sekolah yang kurang mampu, dan masih banyak kesempatan yang diberikan Tuhan bagi kita menjadi saksi, kesempatan yang merupakan waktu anugerah Tuhan di hidup kita yang singkat ini. (Robert N. Kindangen)

Sabtu, 21 Mei 2016

2 Korintus 8:13-15 “Dia Ini Saudaraku”

Ada seorang anak lelaki kurus berjalan sambil menggendong adiknya yg lumpuh di punggungnya. Seseorang memperhatikannya dan berkomentar prihatin; " Kasihan kau nak, bebanmu pasti berat!" Lalu anak itu dengan wajah yang gembira menjawab secara spontan ; "Dia bukan beban buat saya pak, dia ini saudaraku ! ". Itulah kisah dibalik lirik lagu pop karangan Bobby Scott dan Bob Russel; "He Ain't Heavy, He's My Brother."
Suatu perbuatan yang dianggap beban atau kerugian bagi orang lain, ternyata merupakan kegembiraan bagi orang lain. Jika seseorang melakukannya dan tetap bergembira, pasti ada cinta kasih dalam hatinya. Dalam cerita di atas, cinta kasih yang ditunjukkan kakak terhadap adiknya.

Demikian juga yang dilakukan oleh jemaat-jemaat di Makedonia, yaitu jemaat Filipi, Tesalonika, Berea, dll.  Di tengah-tengah berbagai kesulitan dan kemiskinan yang mereka alami, mereka justru menunjukkan kemurahan hati dengan memberikan dukungan dana terhadap anggota jemaat miskin di Yerusalem. Hebatnya, mereka tidak menganggap apa yang mereka lakukan sebagai beban, tapi justru sebagai sukacita. Mereka bersukacita karena beroleh kesempatan untuk menolong saudara seiman yang sedang kesusahan, saudara seiman yang mereka kasihi.
Kalau jemaat-jemaat di Makedonia bisa memberikan pertolongan di tengah-tengah kesulitan yang mereka alami, apalagi jemaat Korintus yang  diberi berkat berkecukupan oleh Tuhan. Paulus mengingatkan jemaat Korintus bahwa apa yang mereka miliki adalah adalah anugerah dari Allah  untuk menolong saudara-saudara seiman yang sedang kekurangan di Yerusalem. Memberikan pertolongan kepada sesama yang kekurangan adalah respon orang percaya, yang dilakukan dengan sukacita dan bukan sebagai beban, karena dilakukan dengancinta kasih. Pertolongan mereka akan mencukupkan kekurangan saudara mereka.

Sebagai orang percaya kita juga diingatkan, berkat kecukupan yang kita miliki yang merupakan berkat dari Tuhan, adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk menolong sesama kita yang membutuhkan. Dasar dari pemberian adalah cinta kasih yang diteladankan Yesus Kristus. Kalau cinta kasih Yesus Kristus yang menjadi dasar kita, maka pertolongan yang kita berikan kepada sesama kita tidak akan pernah kita anggap sebagai beban, melainkan sukacita, dan kita bisa berkata kita melakukannya karena “dia ini saudaraku”. (Robert N. Kindangen)