Jumat, 29 Juli 2016

Markus 7: 1-23 “Firman Tuhan Menyaring Tradisi”


Ada sebuah tradisi di sebuah desa di Spanyol, Castrillo de Murcia, yaitu festival tahunan untuk membabtis anak-anak bayi di sana dengan berpakaian layaknya hantu. Dengan kostum tersebut, mereka kemudian melompat melangkahi bayi-bayi itu. Festival ini disebut El Colacho, dilakukan 60 hari setelah paskah. Mereka kemudian menempatkan bayi-bayi itu di atas bantal dan disusun berbaris di jalan raya. Lalu, orangtua akan menyaksikan anak-anaknya dikelilingi dan dilangkahi oleh orang-orang berkostum hantu seolah menakut-nakuti dan meneror orang-orang yang hadir saat itu. (Intisari-Online.com) Praktek tradisi yang aneh dan menakutkan, yang dicampur adukan dengan kekristenan.

Tradisi merupakan bagian dari kehidupan orang yang melakukannya karena telah ada sejak lama dan bahkan dilahirkan dalam tradisi atau adat tersebut. Sejak dalam kandungan, lahir sampai meninggal berbagai kegiatan tradisi diilaksanakan.
Di satu sisi banyak bagian dari tradisi yang baik dan perlu dikembangkan, tapi di sisi lain tidak semua bagian dari tradisi dapat diterima oleh kita sebagai orang percaya, jika bertentangan dengan Firman Tuhan.

Tuhan Yesus tidak melarang orang percaya mengikuti tradisi. Yesus menghargai tradisi, bahkan Yesus turut ambil bagian dari tradisi Yahudi, misalnya Dia disunat. Akan tetapi Yesus tidak setuju jika tradisi tersebut menjadi yang utama dibandingkan dengan firman Tuhan.
Itulah yang Yesus lakukan dengan mengecam orang-orang Yahudi sangat mengutamakan tradisi adat istiadat melebihi ketaatan terhadap perintah Tuhan. Mereka menganggap murid-murid Yesus najis dan berdosa karena tidak mencuci tangan sebelum makan. Padahal orang-orang Yahudi tersebut rela mengabaikan perintah Tuhan dengan mengabaikan pemeliharaan terhadap orangtua. Mereka menganggap kalau persembahkan kurban sudah diberikan kepada Allah, mereka tidak perlu lagi mengurus atau memerhatikan orangtuanya. Mereka lebih mengutamakan melakukan seremonial dari pada kemurnian moral.

Tradisi atau adat istiadat tidak salah seluruhnya. Tetapi kebenaran Tuhan jauh melampaui tradisi dan adat istiadat manusia. Tradisi seharusnya disaring oleh Firman Tuhan, sehingga kita menerima tradisi selama tidak membawa kita menyimpang dari kehendak Tuhan, namun sebaliknya menolak tradisi yang membawa kita menjauh dari kehendak Tuhan. (Robert N. Kindangen)

Jumat, 15 Juli 2016

Lukas 14:12-14 “Turut Mengundang”

Pada suatu ketika saya menerima undangan pernikahan dari orang yang tidak saya kenal. Jika undangan biasanya turut mengundang adalah keluarga dekat, maka dalam undangan tersebut yang tercantum sebagai turut mengundang adalah para petinggi, baik petinggi pemerintahan desa dan kecamatan, yaitu kepala desa dan camat, maupun petinggi perusahaan, yaitu manager dan kepala-kepala bagian di suatu perusahaan besar. Salah satu yang tercantum di turut mengundang adalah kepala bagian saya saat itu. Alasan mencantumkan para petinggi di undangan pernikahan supaya bawahan-bawahan dari para petinggi yang tercantum di turut mengundang semuanya hadir karena menghargai pimpinannya. Pihak yang mengundang berharap semakin banyak tamu yang hadir, semakin banyak pula uang yang diterima, sehingga pesta tersebut memberi keuntungan.
Mengundang orang-orang yang kita kenal, yaitu sahabat, keluarga, tetangga, orang-orang terpandang dengan harapan mendapat keuntungan baik berupa keuntungan adalah hal yang sering dilakukan orang yang akan mengadakan pesta.

Namun Yesus bersikap sebaliknya, Yesus mengatakan saat kita menyelenggarakan perjamuan, yang perlu kita undang bukanlah orang kaya dan terkenal atau kerabat kita sendiri (ay. 12) yang akan menyenangkan atau memberi keuntungan, tetapi undanglah orang-orang yang tidak bisa membalas pemberian kita, mereka yang layak menerima belas kasih kita (ay. 13-14). Tuhan yang akan memberi berkat (ay.4)
Melalui peristiwa ini, Yesus mengingatkan kecenderungan orang untuk menjalin hubungan dengan sesama bukan atas dasar kemanusiaan, tetapi atas dasar keuntungan yang diperoleh. Hubungan seperti ini tidak mendatangkan berkat.  Yesus menginginkan hubungan antar sesama dilandasi oleh kasih. Kasih terlihat dari kepedulian terhadap sesama, kasih tidak mencari keuntungan dari sesama.
Melalui peristiwa ini, Yesus juga mengajarkan kerendahan hati, karena banyak orang mengadakan perjamuan hanya karena kesombongan, ingin pamer. Mereka menganggap akan semakin dihormati dan dianggap hebat jika undangan mereka adalah orang-orang kaya, terkenal, mempunyai kedudukan. Semua itu hanya memuaska ‘ego’ diri sendiri.

Sebagai orang percaya kita diingatkan, yang menjadi pengikat dalam hubungan kita dengan sesama adalah kasih. Kasih terwujud dalam ketulusan, dan kepedulian, yang membawa kebaikan bagi sesama dan bagi kita. (Robert N. Kindangen)

Sabtu, 09 Juli 2016

Matius 12:33-37 “Hate Speech”

Surat edaran Nomor SE/06/X/2015 tertanggal 8 Oktober 2015 yang mengatur tentang ‘hate speech’, atau ujaran kebencian, sudah diedarkan oleh Kepala Polisi RI. Ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.
Sekalipun mempunyai sangsi hukum, ujaran kebencian tidak mudah untuk dihentikan. Surat edaran ini hanya bisa menangani puncak dari masalah, bukan akar masalahnya, yaitu hati yang penuh kebencian. Jika kebencian dihati bisa dihilangkan, maka hilang pula ujaran kebencian.

Orang Farisi dalam bagian Alkitab ini melakukan ujaran kebencian kepada Yesus. Dengan keras Yesus mengecam mereka bahwa kebencian yang terucap asalnya dalam hati mereka. Hati yang baik akan menghasilkan perkataan yang baik, sebaliknya hati yang tidak baik akan menghasilkan perkataan yang tidak baik.
ilustrasi pohon dan buahnya menggambarkan bagaimana perkataan orang Farisi telah menyatakan siapa diri mereka sesungguhnya, yaitu hatinya dikuasai kejahatan.
Sebaliknya bila Tuhan yang berkuasa di dalam hati seseorang, maka perkataan yang keluar adalah yang baik.
Tuhan Yesus juga mengingatkan setiap kata-kata yang disampaikan akan dipertanggungjawabkan nanti, perkataan yang baik akan membuat seseorang dibenarkan, sebaliknya perkataan yang tidak baik akan membuat seseorang dihukum.

Kecaman Yesus ini juga menjadi peringatan bagi kita sebagai orang Kristen. Apa yang kita katakan akan menggambarkan siapa kita sebenarnya. Siapakah kita ini? Bukankah kita adalah pengikut Kristus, anak-anak Allah, karena itu perkataan kita harus mencerminkan Kristus. Setiap perkataan kita baik secara lisan termasuk percakapan di media sosial adalah kata-kata yang menguatkan, membawa kebaikan, memberitakan kabar baik, dan yang membuat kita dibenarkan. (Robert N. Kindangen)

Jumat, 01 Juli 2016

2 Tawarikh 25:1-4 “Ketaatan Total”

Suatu ketika terjadi perang antara bangsa burung melawan bangsa binatang buas. Saat burung-burung nyaris kalah, kelelawar menjauh dan bersembunyi hingga pertempuran berakhir. Lalu binatang-binatang buas meninggalkan medan pertempuran, dan kelelawar ikut bergabung bersama mereka!
Para binatang buas itu saling bertanya, "bukankah kelelawar itu termasuk burung yang bertempur melawan kita?"
Kelelawar pun berkata, "Oh, tidak. Aku termasuk bangsa kalian. Aku bukan bangsa burung. Apa kalian pernah melihat burung bergigi ganda? Kalian bisa periksa mulut burung-burung itu, pasti tidak ada yang bergigi ganda, itu artinya aku adalah sebangsa dengan kalian, binatang buas!"
Binatang-binatang akhirnya membiarkan kelelawar ikut kelompok mereka.
Beberapa waktu kemudian, dengan kekuatan lebih besar, bangsa burung menyerbu kelompok binatang buas. Melihat kelompok binatang buas akan kalah, kelelawar ikut bergabung dengan bangsa burung.
Saat para burung melihatnya, mereka menegur kelelawar,"hai, kamu itu musuh kami. Kami melihat engkau bersama binatang buas itu dan ikut melawan kami!"
"Tidak, kalian salah lihat!" kelelawar mengelak. "Aku ini bangsa kalian. Apakah kalian pernah melihat seekor binatang buas memiliki sayap?
Burung-burung akhirnya membiarkan kelelawar ikut kelompok mereka.
Suatu saat, bangsa burung dan binatang buas berdamai. Mereka kemudian membicarakan kelelawar yang selalu berpindah-pindah pihak selama peperangan berlangsung, siasat kelelawar itu menunjukkan bahwa dia itu tidak punya pendirian. Mereka kemudian memutuskan, sejak saat itu baik bangsa burung maupun binatang buas tidak akan berteman dengan kelelawar, dan kelelawar hanya boleh terbang pada malam hari. Kelelawar pun tertunduk lesu meratapi nasibnya.

Amazia, raja Yehuda sepertinya taat terhadap Tuhan, sayangnya ketaatannya tidak penuh (ay. 25).
Pada suatu saat Amazia menaati perintah Tuhan, yaitu ketika ia menghukum mati pegawai-pegawai yang telah membunuh ayahnya. Anak-anak mereka tidak dibunuhnya, karena ia menaati perintah Tuhan "Janganlah ayah mati karena anaknya, janganlah juga anak mati karena ayahnya, melainkan setiap orang harus mati karena dosanya sendiri." (ay.4)
Namun di saat lain, Amazia memberontak kepada Tuhan dengan menyambah dewa-dewa Edom, bangsa yang telah dikalahkannya (ay. 14).
Akibatnya, Tuhan menghukum Amazia. Amazia akhirnya kalah dan mati di tangan Yoas, raja Israel yang juga merampasi kekayaan Yehuda dan bait Allah (ayat 20-24).

Melalui kisah Amazia, kita sebagai orang percaya diingatkan kita harus mempunyai ketaatan total kepada Tuhan. Tidak bisa kita taat sebagian, di saat tertentu kita hidup dalam kebenaran, tapi disaat lain kita hidup dalam dosa. Karena dosa akan merusak seluruh kehidupan kita. (Pdt. Robert N. Kindangen)

Jumat, 24 Juni 2016

Kisah Para Rasul 26:24-32 “Diperlengkapi Untuk Bersaksi”



Seorang anak kecil menceritakan kepada pamannya mengenai mengenai kisah Musa yang membelah laut Teberau sehingga ribuan tentara Mesir yang mengejar orang-orang Israel tenggelam di lautan, mujizat yang dilakukan Tuhan agar bangsa Israel selamat.
Pamannya mengatakan bahwa peristiwa tersebut bukanlah mujizat melainkan peristiwa alam biasa. Karena pada saat itu diperkirakan terjadi gerhana bulan sehingga menimbulkan daya gravitasi yang menarik sebagian air lautan ke tempat yang lebih dalam. Akibatnya ketinggian air laut Taberau saat itu hanya sebatas mata kaki manusia. Musa telah membodohi umat Israel dengan mengatakan bahwa kejadian itu adalah Mujizat dari Tuhan.”
Mendengar penjelasan pamannya, anak kecil ini berteriak dengan suara nyaring. “Haleluya…Puji Tuhan…!”
Pamannya heran dan bertanya, “kenapa kamu bilang Haleluya…Puji Tuhan…!”
Jawab anak itu “kalau  apa yang paman katakan benar justru membuat kisah Mujizat dalam kitab kejadian itu makin luar biasa, karena ribuan pasukan Mesir bisa mati tenggelam hanya di air yang sedalam mata kaki manusia.
Pamannya terdiam.

Kisah Para Rasul 26:24-32, menceritakan Paulus yang saat itu berstatus tahanan, tidak gentar mewartakan Injil kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan dan kedudukan yang tinggi, diantaranya Festus gubernur Yudea, Raja Agripa,  dan Bernike anak perempuan raja Agripa.
Festus yang menjabat sebagai gubernur Yudea yang mengakui bahwa Paulus punya pengetahuan yang banyak. Mendengar penjelasan Paulus, Festus menganggap Paulus gila (Ay. 24). Paulus menjawab bahwa dirinya  tidak gila karena ia mengatakan kebenaran dengan pikiran yang
sehat (Ay. 25). Paulus tidak sedang mengarang cerita, melainkan kebenaran yang diketahui oleh banyak orang termasuk, karena semua itu tidak terjadi di tempat terpencil (ay.26)
Terhadap Raja Agripa, Paulus meyakini raja Agripa percaya apa yang diwartakannya, dengan secara langsung bertanya “percayakah engkau, raja Agripa, kepada para nabi? Aku tahu, bahwa engkau percaya kepada mereka. Jawab Agripa: "Hampir-hampir saja kauyakinkan aku menjadi orang Kristen!" (ay.27-28)
Jawaban raja Agripa ditanggapi Paulus dengan sukacita (28-29). Ia melihat bahwa Injil yang diberitakan sudah mulai diterima. Paulus tidak mau melepaskan begitu saja, melainkan mendoakan kepada Allah, agar yang mendengarkan Injil yang diwartakan oleh Paulus menjadi percaya sama seperti Paulus (ay.29) dan akhirnya menerima keselamatan.

Paulus menunjukkan Tuhan keberanian mewartakan kebenaran Injil terhadap siapapun bahkan terhadap gubernur dan raja sekalipun. Itu semua bukan karena kehebatan dan kepintaran Paulus, melainkan karena Tuhan yang memperlengkapi Paulus.

Demikian juga dengan kita sebagai orang Kristen, jangan pernah merasa rendah diri, jangan takut dan gentar berbicara mengenai kebenaran terhadap siapapun. Berdoa minta hikmat dari Tuhan yang akan memperlengkapi kita untukmenyampaikan kebenaran. (Robert N. Kindangen)

Sabtu, 18 Juni 2016

Roma 8:18-30 “Sudut Pandang Allah”

Setelah kota London terbakar, raja Inggris menugaskan seorang arsitek besar bernama Christofer Ramm membangun kembali gereja St. Paul yang megah. Ukiran yang besar dan bagus dipasang kira-kira 8 meter tingginya dari tanah. Ada seorang yang mengukir salah satu hiasan di situ dan berdiri pada tempat yang tinggi dari gereja itu. Ia sedang memandang hasil ukirannya yang baru saja selesai. Tetapi secara tak sadar, ia memandangi ukiran itu sambil berjalan mundur setapak demi setapak sampai berada di ujung papan pembatas. Jika ia mundur setapak lagi, ia pasti jatuh dan mati. Seorang rekannya melihat bahwa posisi temannya sangat berbahaya. Dia bermaksud menolong, tetapi jika ia berteriak memperingatkan kemungkinan teriakannya akan membuat rekannya malah jatuh. Akhirnya tidak ada cara lain selain ia mengambil kuas seorang yang sedang mengecat dinding dan merusak ukiran tersebut. Pada waktu ukiran itu kena cat, si pengukir amat marah dan langsung menghampiri rekannya yang merusak ukirannya dan bermaksud memukulnya. Tetapi rekannya itu menunjukkan tempat si pengukir itu berdiri. Akhirnya, si pengukir sadar bahwa rekannya telah menyelamatkan nyawanya.

Sikap yang sama seperti sang pengukir, sering kita perlihatkan ketika kita melihat hidup kita mengalami penderitaan dalam bentuk seperti, sakit penyakit, kedukaan, dan rencana-rencana yang gagal. Kita seringkali protes kepada Tuhan bahwa Tuhan membiarkan atau membuat kehidupan kita begitu berat. Padahal yang terjadi sebaliknya. Justru Tuhan sedang menolong kita.
Dari sudut pandang manusia, penderitaan yang dialami adalah tanda ditinggalkan oleh Tuhan, tanda kegagalan, tanda hari depan suram dan tak berpengharapan.
Namun dari sudut pandang Allah, penderitaan dialami oleh orang-orang yang mengasihi Dia, menjadi salah satu cara untuk mendatangkan kebaikan. Penderitaan yang dialami orang percaya dipakai Allah untuk mewujudkan rencana-Nya bagi kita. Penderitaan yang kita alami tidak akan membawa kita pada kebinasaan, tapi akan membawa kita pada damai sejahtera.

Jika saat ini kita sedang mengalami penderitaan, apapun bentuknya. Jangan pernah ragukan Allah, datang padanya dalam doa,  bahkan ketika kita tidak tahu bagaimana seharusnya berdoa, karena Roh Kudus akan menolong kita, berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Memberi kita kekuatan, pengharapan, kebaikan yang Allah rencanakan bagi kita. (Robert N. Kindangen)

Minggu, 12 Juni 2016

Roma 7:1-13 “Taat Aturan”

Ada ungkapan yang menyebutkan  “aturan dibuat untuk dilanggar. Benarkah itu? Tentu saja ini ungkapan yang buruk. Bukankah aturan dibuat untuk ditaati? Namun, lihatlah apa yang terjadi di sekitar kita, banyak aturan yang diabaikan. Ada rambu-rambu lalu-lintas  Dilarang parkir, tetapi banyak  mobil dan sepeda motor yang parkir. Bahkan, tukang parkirnya juga ikut-ikutan tidak peduli pada aturan main pemarkiran. Sering juga kita melihat tulisan di terminal atau di emper pertokoan Buanglah sampah di tempat yang disediakan. Lucunya, banyak sampah bertebaran secara sembarangan. Apakah kita  patuh pada peratauran jika petugas yang mengawasi? Kita seringkali taat pada aturan karena takut akan sangsi, bukan karena kesadaran.

Kecenderungan manusia melanggar aturan diingatkan oleh rasul Paulus melalui suratnya kepada jemaat di Roma (Rom. 1:1-13). Agar hidup sesuai dengan kehendak Allah, umat Israel diberikan panduan berupa aturan-aturan dalam Hukum Taurat, maksudnya agar umat Tuhan mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Kenyataannya, umat Israel cenderung melanggar, kalaupun mentaati hukum Taurat didasari karena takut & pamrih. Takut kalau tidak mentaati hukum Taurat mendapat hukuman, sebaliknya kalau mentaati hukum Taurat akan mendapat imbalan keselamatan, padahal hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan, keselamatan hanya di dalam kasih karunia melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.  Melalui Yesus Kristus kita tidak lagi hidup di bawah hukum Taurat, tetapi hidup baru menurut Roh (ay.6). Dengan hidup menurut Roh, kita melakukan Taat kepada kehendak Allah bukan lagi karena takut dan pamrih untuk mendapatkan keselamatan. Bagi kita yang percaya, keselamatan sudah disediakan, sehingga melakukan kehendak Allah merupakan ungkapan kasih kita kepada Allah yang dilakukan dengan sukacita dan bukan  karena terpaksa.

Sebagai orang percaya, ketaatan kita kepada Allah juga terlihat pada aturan-aturan di dalam kehidupan bermasyarakat. Kita taat bukan karena takut pada sangsi, melainkan karena aturan itu membawa kebaikan bagi kita semua. (Robert N. Kindangen)