Sabtu, 06 Desember 2008

Menunggu Kereta Api Lewat





Seperti hari-hari yang lalu, pada jam yang sama, pagi ini saya berjalan melewati perlintasan kereta api di sekitar stasiun lempuyangan, tepatnya di bawah jembatan layang. Dan seperti biasanya juga, ada kereta yang akan melintas, sehingga mau tidak mau, saya harus menunggu sampai kereta lewat sebelum menyeberang.

Sambil menunggu kereta yang lumayan lama lewatnya, iseng-iseng saya memeperhatikan ada anak-anak dua kelompok orang yang sedang menunggu kereta lewat. Kelompok pertama adalah anak-anak bersama orang tuanya yang sengaja datang di tempat itu untuk melihat kereta api lewat. Kelompok yang kedua adalah mereka yang terpaksa memberhentikan kendaraannya karena tertutup palang perlintasan.

Dua kelompok orang yang sama-sama menunggu lamanya kereta api datang dan lewat. Tapi ada perbedaan yang jauh antara kelompok yang satu dan kelompok yang kedua. Ketika kereta api datang dan lewat, kelompok pertama yaitu anak-anak dan orang tua mereka sangat bergembira dan merasa puas melihat kereta walaupun mereka harus menunggu lama. Kereta yang lewat membahagiakan mereka. Sementara kelompok kedua, yaitu orang-orang yang membawa kendaraan, memandang kedatangan kereta dengan keluh kesah, mungkin karena merasa waktu mereka terbuang menunggu kereta yang akan lewat.

Dalam menjalani hidup sehari-hari, mungkin kita juga terbagi dalam dua kelompok seperti kelompok yang menunggu kereta. Ada yang menghadapi hidup ini dengan bahagia, walaupun hidup tidak selalu menyenangkan. Bahkan ketika keadaan tidak menyenangkan, selalu ada alasan untuk bersyukur. Ada juga yang sering menghadapi hidup dengan keluh kesah, bahkan ketika ada hal yang menyenangkan, selalu ada alasan untuk mengeluh.

Mau seperti kelompok yang mana kita menjalani hidup, mau menghadapinya dengan bersyukur, atau menghadapi dengan keluh kesah?
Atau mungkin punya pilihan yang lain?
Selamat menjalani hidup.

Jumat, 05 Desember 2008

Yohanes 6:1-14 "Anak Yang Memberikan Bekal Makanan"

Seperti biasanya, untuk makan malam, saya membeli makanan di warung untuk dibungkus dan dimakan di tempat kost. Sambil jalan, saya membayangkan betapa nikmatnya makan nanti, apalagi saya sedang lapar. Tidak jauh dari warung makan, saya melewati seorang nenek gelandangan yang hanya duduk diam di trotoar. Mulanya saya melewatinya, tapi tiba-tiba terbayang bagaimana seandainya nenek itu sedang kelaparan dan orang-orang lain hanya melewatinya tanpa berbuat apa-apa seperti saya. Saya merasa bersalah sehingga saya balik lagi dan memberikan uang Rp.1000 buat nenek itu. Setelah itu saya pulang dengan lega karena merasa sudah melakukan tugas sebagai orang Kristen. Sambil berjalan pulang, saya berpikir kalau nenek itu lapar, kenapa tidak saya berikan bungkusan makanan yang saya bawa? Tapi kemudian saya berargumentasi membenarkan diri, kan saya sendiri lapar? Harus diakui berat melepaskan makanan yang saya bawa.

Kisah yang sering dibaca dalam Perjanjian Baru adalah kisah tentang seorang anak yang memberikan bekal makanannya kepada Yesus (Yoh.6:1-14). Bekal makanan tentu sangat penting bagi anak itu, apalagi saat perutnya juga lapar seperti orang banyak yang ada saat itu. Memberikan bekal makanannya disaat anak itu sendiri lapar? Namun itulah yang terjadi, anak itu bersedia memberikan bekal makanannya kepada Tuhan Yesus: lima roti jelai dan dua ikan. Anak ini memberikan bekal makanannya dengan keyakinan bahwa Yesus dapat melakukan mujizat dengannya. Dan Yesus melakukannya. Dengan bekal makan anak itu, Yesus memberi makan ribuan orang yang sedang kelaparan itu.

Kita sekarang berada dalam situasi krisis ekonomi global, yang berakibat orang miskin semakin bertambah. Banyak dari sesama kita yang kekurangan. Situasi sulit ini bisa menjadikan kita beralasan bahwa wajar untuk tidak berbagi dengan sesama, karena kita pun ada kemungkinan kekurangan. Bacaan tentang anak yang memberikan berbagi makanannya sekalipun dia sendiri lapar menjadi  contoh bagi kita bahwa tidak ada alasan untuk tidak berbagi dengan orang lain. Berapa banyak dari kita yang ditengah segala keterbatasan dan kekurangan rela berbagi kepada sesama? Yesus masih mencari orang biasa seperti anda dan saya, yang bersedia berbagi tanpa syarat dan diluar kebiasaan, supaya Dia dapat mengubah persembahan kita menjadi kemuliaan-Nya. Lakukan tindakan semacam itu hari ini.

Sepeda Untuk Niko

Tulisan ini sebagai latihan saya belajar penulisan kurikulum anak, semoga ada manfaatnya buat yang membaca.
Cerita Sekolah Minggu untuk Anak : 10-12 tahun
Tujuan : Agar anak bersedia saling menolong temannya yang membutuhkan pertolongan.

Sepeda Untuk Niko

Hari ini adalah hari pertama Niko masuk sekolah di tahun ajaran baru. Sekarang dia sudah kelas 6. Sejak pagi Niko sudah bangun dan mempersiapkan buku, tas dan alat tulis supaya tidak terlambat di hari pertama sekolah. Setelah itu Niko cepat-cepat sarapan. Mama dan papa juga sama-sama sarapan karena mereka akan berangkat kerja. Mama bekerja sebagai guru di SMP Negeri 1, sedangkan papa bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Umum di kota Karawang. Niko adalah anak satu-satunya, sehingga dia sering merasa kesepian apalagi ketika pulang sekolah mama dan papa biasanya belum pulang kerja. Cuma ada bibi Minah yang sudah bekerja di rumah Niko selama 5 tahun, yang menemaninya.  Saat sedang sarapan tiba-tiba ibu berkata. “Niko ada yang ingin mama dan papa mau katakan kepadamu.” Ada apa ma, cepat beritahu nanti Niko terlambat ke sekolah,” kata Niko sambil menghabiskan roti dan susu. “Begini nak, mama dan papa bangga karena Niko naik kelas dan menjadi juara 2, karena itu mama dan papa ingin memberikan hadiah.” “Hadiah? Hadiah apa ma, hadiah apa pa?” tanya Niko. “Mama dan papa ingin membelikan Niko sepeda baru sebagai ganti sepeda kamu yang lama. Niko boleh memilih jenis sepeda yang disenangi.” “Sepeda baru? Mau ma, mau pa, hore!” teriak Niko. Niko sehari-harinya ke sekolah dengan sepeda BMXnya, sekolahnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 2 kilo meter dari rumah. Kulitnya sampai berwarna sawo matang karena keseringan bersepeda siang hari. Niko sudah lama menginginkan agar sepedanya yang sudah dimilikinya selama 2 tahun diganti dengan yang baru. Selain model nya sudah ketinggalan, badannya sekarang lebih tinggi sehingga sepeda BMXnya agak kekecilan buat dia.
            Dengan senang hati, Niko mengeluarkan sepedanya yang sebentar lagi akan diganti dan berangkat ke sekolah sambil membayangkan sepeda baru yang akan dipilihnya. Dia ingat waktu ikut mama belanja di mal, ada sepeda merek Polygon tipe Rapid yang dipamerkan. Pakai suspensi depan belakang, warnanya biru, pokoknya keren banget. Kayaknya sepeda itu saja yang dipilihnya. Nanti pulang sekolah dia mau memberitahu mama dan papanya. Niko mengambil jalan pintas melewati perumahan sederhana di samping sungai agar bisa lebih cepat sampai ke sekolah. Di daerah itu tinggal teman sekelasnya yang bernama Boni, yang setiap hari ke sekolah jalan kaki. Bukan teman akrab sih, habis Boni suka nga nyambung kalau diajak ngobrol tentang permainan di PS apalagi kalau ngomongin internet, banyak nga taunya. Teman-temannya juga tidak mau berteman akrab dengan Boni. Walaupun tidak akrab Niko suka menegur Boni kalau ketemu di jalan. Sampai di depan rumah Boni, Niko melihat Boni sedang menyapu rumah. Niko segera berteriak, “Ayo Boni ke sekolah, nanti terlambat lho, ini kan hari pertama sekolah.” Boni melihat ke arah Niko dengan wajah sedih, “Aku hari ini tidak sekolah.” “Kenapa?” tanya Niko, Boni hanya menunduk. “Kalau begitu aku duluan ya Bon?” “Iya Nik, hati-hati di jalan” kata Boni. Di perjalanan Niko terus memikirkan kenapa Boni tidak ke sekolah dan kenapa wajahnya kelihatan sedih. 
Di sekolah Niko akhirnya bisa melupakan tentang Boni, apalagi karena hari ini dia ketemu dengan teman-teman sekelasnya yang selama liburan tidak ketemu. Mereka saling bercerita mengenai pengalaman seru ketika liburan. Riki berlibur ke rumah kakek nenek di desa Sulawesi, Defa liburan ke Dufan sekeluarga, dan masih banyak lagi. Pokoknya seru-seru deh pengalaman teman-teman. Karena sekarang hari pertama sekolah sehingga pelajaran yang diberikan tidak terlalu banyak. Hari ini pada pelajaran terakhir yaitu pelajaran agama Kristen, kami diajar oleh bu Guru Heni yang agak gemuk dengan rambut ikal pendek dan suka sekali tersenyum sehingga lesung pipinya jelas kelihatan. Selain itu cara bicara bu Heni lembut dan mengajarnya menarik. Saat akan mulai pelajaran terakhir, tiba-tiba ibu kepala sekolah masuk ke kelas kami dan mengatakan sesuatu kepada bu Heni, sesudah itu ibu kepala sekolah langsung keluar lagi. Setelah ibu kepala sekolah pergi, ibu Heni memberi pengumuman, “Anak-anak, tadi ibunya Boni teman kalian datang ke sekolah, mau melapor bahwa Boni akan berhenti sekolah. Ayahnya yang bekerja sebagai sopir angkot sudah lebih dari dua minggu sakit sehingga tidak ada lagi biaya untuk membayar uang sekolah Boni, apalagi Boni masih memiliki 2 orang adik yang masih kecil yang butuh biaya.” Niko langsung bertanya, “bu, apa tidak ada cara lain, kenapa Boni harus berhenti sekolah.”  Ibu Heni berkata, “setelah pulang ke rumah, mari bersama-sama kita pikirkan apa yang dapat kita lakukan untuk membantu Boni.” Setelah itu Bu Heni memulai pelajaran yaitu mengenai orang Samaria yang murah hati, yang menolong orang yang dirampok dan dipukul penyamun. Sementara orang lain yang melihat orang yang dirampok dan dipukul tidak mau menolongnya.
Pelajaran tentang orang Samaria yang murah hati teringat terus di kepala Niko bahkan sampai sekolah bubar.  Niko berpikir bahwa diapun bisa seperti orang Samaria yang murah hati, dia pun bisa menolong Boni. Bukankah dia dijanjikan untuk dibelikan sepeda baru oleh papa dan mamanya? Bagaimana kalau uang untuk membeli sepeda itu diberikan saja kepada Boni, toh sepeda lamanya masih bisa dipakai.  Setelah memikirkan itu, Niko segera bergegas pulang. Saat melewati rumah Boni, Niko memutuskan untuk mampir. Niko mengetuk pintu rumah Boni, “Boni ini aku Niko.” Boni pun membuka pintu dan menyapa Niko, “Niko, ada apa ya.” “Saya mampir pingin ngobrol sama kamu,” kata Niko. “Mau ngomongin apa ya Nik.” “Benar kamu mau berhenti sekolah Bon?” “Iya, bapak sakit dan butuh biaya, bapak tidak mampu lagi biayai sekolahku, apalagi sekarang yang bekerja hanya ibu, berjualan sayur keliling. Adik-adik masih kecil belum bisa membantu, jadi saya berhenti sekolah sekalian akan bantu ibu berjualan sayur.” Niko hampir menangis mendengar jawaban Boni. Diapun berkata, “Bon, kamu kan sahabatku, aku akan berusaha agar bisa membantu kamu sekolah lagi.” Boni tersenyum sambil berkata, “Nik, walaupun aku nantinya tidak bisa sekolah lagi tapi aku bahagia karena kamu mau menjadi sahabatku.” “Iya Bon, saya mau menjadisahabatmu,” kata Niko. Setelah menjenguk papa Boni yang masih terbaring lemas, Niko pun pamitan pulang.
Sore harinya, ketika mama dan papa pulang dari kerja, Niko segera menemui mereka. Melihat Niko, mama segera bertanya, “Bagaimana nak, sudah dapat pilihan sepeda yang mau mama dan papa belikan?” Niko pun berkata, “ma, pa, bagaimana kalau sepedanya tidak usah dibeli.” “Lho kenapa?”, tanya papa. “Begini ma, pa, kalau boleh uangnya Niko mau pakai untuk membantu Boni sahabat Niko yang tidak bisa sekolah lagi karena tidak ada biaya sekolah sejak ayahnya sakit dan tidak bisa bekerja. Niko ingin Boni bisa sekolah lagi. Lagipula sepeda yang lama masih bisa dipakai kok.” Mama dan papa tidak langsung menyetujui permintaan Niko, tapi berunding dulu. Kira-kira 5 menit kemudian, mama dan papa menemui Niko, dan papa berkata, “Niko, mama dan papa bangga karena kamu mau memperhatikan sahabatmu Boni yang sedang butuh pertolongan. Mama dan papa tidak keberatan kalau uang untuk membeli sepeda Niko berikan kepada Boni. Bahkan malam ini rencananya mama dan papa mau mengajak Niko untuk menjenguk ayahnya Boni yang sedang sakit sekalian memberikan uang yang mau Niko sumbangkan.”
Sekitar jam 7 malam, dengan memakai mobil papa, Niko serta mama dan papa mengunjungi  keluarga Boni. Boni, ibunya dan bapaknya sangat senang menerima kunjungan Niko serta mama dan papanya. Papa dan mama kemudian ngobrol sama ayah dan ibu Boni di kamar, sedangkan Niko ngobrol di ruang tamu dengan Boni dan adik-adiknya. Boni kelihatan gembira atas kedatangan Niko sahabatnya berserta mama dan papanya. Kira-kira jam 8.30 malam, papa dan mama pamit pulang. Niko tidak tahu apa yang dibicarakan antara papa dan mamanya serta ayah dan ibu Boni di kamar, tapi ayah dan ibu Boni kelihatan terharu. Niko juga pamit sama Boni,adik-adiknya dan ibu serta bapaknya. Boni segera memeluk Niko dan bilang, “Niko terima kasih karena mau menjadi sahabatku, walaupun aku miskin. Terima kasih karena mau mengunjungi dan membantu kami.” Niko hanya terdiam dan terharu sambil balas memeluk Boni.  Sampai di rumah mama berkata pada Niko, “Niko besok Boni bisa sekolah lagi karena kamu mau perduli sama dia, sekalian mama dan papa mau menjadi orang tua asuh baginya supaya Boni bisa menyelesaikan sekolahnya.” Niko sangat senang mendengar Boni sahabatnya bisa sekolah lagi. Niko segera memeluk mama dan papa sambil berkata, “Terima kasih mama, terima kasih papa, Niko bahagia memiliki orang tua yang baik seperti mama dan papa.” Papa pun membalas memeluk niko sambil berkata, “mama dan papa juga bahagia mempunyai anak yang baik yang mau menolong sahabatnya yang menderita.”
Besoknya, ketika Niko ke sekolah, di melihat sahabatnya Boni telah sekolah lagi. Mereka duduk berdampingan di kelas yang baru. Mereka pun mengikuti pelajaran dengan bersemangat. Ketika jam istirahat, bu Heni mendatangi Niko dan Boni sambil berkata, “itulah yang dinamakan sahabat, bersedia menolong ketika sahabatnya butuh pertolongan.” Niko dan Boni hanya mengangguk setuju sambil tersenyum. Sejak itu mereka berdua menjadi sahabat akrab yang selalu ada ketika sahabatnya membutuhkan pertolongan.

Amsal 17:17 : Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.
Galatia 6:2 : Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.